Minggu, 24 November 2013

hukum acara pidana anak



Kata Pengantar
Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Acara Pidana”. Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang konsep yang ada didalamnya.
Akhirnya  penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu  penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.




Langsa, November 2013



Penyusun



Daftar Isi
Kata Pengantar..............................................................................           1
Daftar Isi.........................................................................................           2
BAB  I  Pendahuluan.....................................................................           3
A.   Latar Belakang............................................................................................             3
B.   Rumusan Masalah....................................................................................             4
BAB  II  Pembahasan....................................................................           5
A.   Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak..............................             5
B.   Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan......             10
1.    Penyidik Anak.......................................................................................             10
2.    Proses Penyidikan Anak.....................................................................             11
BAB  III  Penutup...........................................................................           23
A.   Kesimpulan.................................................................................................             23
B.   Saran............................................................................................................             23
Daftar Pustaka...............................................................................           24




BAB I
Pendahuluan
A.  Latar Belakang
            Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada dalam pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU No.3 Tahun 1997 pengertian anak yang dapat dimasukkan dalam sistem peradilan pidana adalah anak yang telah mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
            Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak. Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara lain semakin meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hokum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan anak-anak.
            Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak energy para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas kriminal dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-pemikiran baru mengenai arah kebijakan hokum dimasa depan.
            Arah kebijakan hokum brtujuan menjadikan hokum sebagai aturan yang memberikan perlindungan bagi hak-hak WN dan menjamin kehidupan generasi dimasa depan. Oleh karena itu, sistem hokum tiap negara dalam praktiknya terus mengalami modernisasi dan tidak ada satu negara pun yang dapat menolaknya. Contohnya negara Indonesia yang menuntut dilakukannya perubahan disegala bidang, diantaranya perubahan bidang hokum dengan memunculkan pemikiran-pemikiran baru untuk mereformasi hokum yang ada saat ini.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah pemahaman tentang pertanggung jawaban pidana anak ?
2.    Bagaimanakah Perlindungan Hukum terhadap anak pada tahap penyidikan ?















BAB II
Pembahasan
A.   Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak
Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana.
Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu :
1.    Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar aturan ini.
2.    Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu.
Pertanggung jawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab dan apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggungjawab itu.
KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemapuan bertanggungjawab harus adanya kemampuan untuk membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, sesuai hokum dan yang melawan hokum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang tidak mampu menetukan kehendaknya, menurut kehendaknya, menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, menurut pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam tubuhnya.
Selanjutnya, mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Criminee Wetboek) tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toeliching (MvT) Menteri kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang,sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingini , mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat, adanya “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Kedua teori Moeljatno tersebut lebih cenderung kepada teori pengetahuan dan membayangkan,alasannya adalah :
Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang terlebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh teKonsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, (1)harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai (2)antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin terdakwa.
Secara umum ilmu hokum pidana membedakan 3 (tiga) macam kesengajaan, yaitu:
1.    Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoggmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.
2.    Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi.
3.    Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis.
Mengenai kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WsV sebagai berikut:
“Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan dilarang itu bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.”
Dari apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas, Moeljatno menyimpukan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya sama,yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasannya pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif klausal yang menimbulkan keadaan yang dilarang.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakanpemidanaan  Pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan seorang anak. Hal ii disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang perpikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya.
Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
Undang-undang  No.3 tahun 1997 Bab III  memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam pasal23 UU No.3 Tahun 1997 pidan ayng dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana kurungan (c) Pidana denda (d) pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu dan ataupembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan; (1) dikembalikan kepada orang tuanya, (2) ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada negara.
Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.
            Pada pasal 64 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur perlindungan terhadap anak yaitu:
1.    Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak
2.    Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
3.    Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4.    Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tebaik bagi anak
5.    Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.
6.    Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dapat dilakukan penahanan. UU nasional memberikan peluang dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana. Contohnya pasal 43 ayat 2 UU No.3 tahun 1997 menyatakan bahwa “Penangkapan anak nakal dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari”. Dalam pasal 44 ayat 2menyebutkan bahwa “Penahanan hanya berlaku utuk paling lama 20 hari. Dalam ayat 3 menyebutkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang, untuk paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4 menyatakan bahwa “Dalam jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana yang dimaksud  dalam ayat 3 sudah harus menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum. Jika dalam jangka waktu 30 hari polisi belum menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada ditempat khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
B.   Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan
1.    Penyidik Anak
Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan akan diberlakukannya dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 ayat (1) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah :
  1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;
  2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
  3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.
2.    Proses Penyidikan Anak
Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.
Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.
Penyidikan terhadap anak tersebut haruslah dalam suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :
“Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.”
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan (Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012). Kentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya adalah agar pemeriksan berjalan dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. Pada waktu pemeriksaan tersangka, penyidik tidak memakai pakaian seragam.
Ketentuan Pasal 18 ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2012). Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar.
Pasal 27 ayat 1 UU No. 11 tahun 2012, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik dibantu pembimbing kemasyarakatan. Pasal 65 ayat 1 huruf b UU No. 11 Tahun 2012, menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar penyidikan dengan membuat laporan penelitian kemasyarakatan.
Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan ( Pasal 19 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012). Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia.
Perkara anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai Pasal 20 UU No. 11 Tahun 2012 adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan belum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 UU No.11 tahun 2012, masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur dibawah 12 tahun, namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana adalah untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam hal ini yang berumur 12 tahun keatas dan atau dengan orang dewasa atau TNI.
Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.
Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ;
  1. Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke pengadilan, penyidik secara rmenyatakan penghentianpemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hokum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat;
  2. Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya member hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP.
Dalam praktik, alasan penghentian penyidikan adalah :
  1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;
  2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak nakal dengan korban. Hal ini merupakan penyimpangan, karena perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana. Seyogyanya penghentian penyidikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak, terlepas dari ada perdamaian atau tidak. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut, penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP )
Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan sendirinya menurut hokum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum. Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita.
Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi :`
a)  Penangkapan
Mengenai tindakan penangkapan diatur dalam ketentuan-ketentuan KUHAP.  Berdasarkan pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat–surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan,serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa (Pasal 18 KUHAP).
Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan hukum yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan keadilan hukum terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan anak harus dapat menonjolkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya rasional dan berdimensi rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Wewenang penangkapan dan penahanan terhadap anak menurut Pasal 30 Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan dan penahanan mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penangkapan dan penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau anak nakal pada tahap penyidikan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 Undang-undang Nomor 11 Tahun  2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa : Penangkapan anak nakal sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.
Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana yaitu : Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Dalam melakukan penangkapan diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tigkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54 KUHAP). KUHAP tidak mengatur secara tegas bukti cukup atau tidak. Hal ini tidak mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, karena itu perlu diatur secara tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.
Kedudukan anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal antara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :
  1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan dilakukan
  2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa
  3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan Cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat hukum anak tersebut)
  4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan proses pemeriksaan
  5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.
b) Penahanan
Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan. Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.
Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang No.11 tahun 2012 dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah “dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharap betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah karena ada kehawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut hukum acara pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram.
Pasal 33 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dasar diperkenankan suatu penahanan anak, adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan). Pasal 32 ayat 2 huruf a dan b UU No. 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, muncul persoalan dalam menentukan “diduga keras” dan “bukti permulaan,” sebab bisa saja penyidik salah duga atau menduga-duga saja, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban ketidak cermatan atau ketidak telitian penyidik. Menentukan bukti yang cukup sebagai bukti permulaan, dalam KUHAP tidak diatur dengan tegas, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Bisa saja menurut penyidik bukti permulaan telah cukup, padahal hakim dalam pra-peradilan (apabila diajukan pra-peradilan oleh anak nakal/penasehat hukumnya) memutuskan bahwa penahanan tidak sah, anak sudah dirugikan terutama dari segi mental, anak merasa tertekan dan trauma atas pengalaman-pengalaman tersebut. Menjamin agar ketentuan mengenai dasar penahanan ini diindahkan, diadakan institusi pengawasan yang dilakukan oleh atasan di instansi masing-masing, yang merupakan “built in control” maupun pengawasan sebagai sistem “checking” antara penegak hukum.
Terkait dengan penahanan, penahanan tahap pertama terhadap anak berbeda dengan penahanan terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 7 (tujuh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 8 (delapan) hari.
Dalam waktu 15 (lima belas hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu penahanan dan perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Penahanan tahap pertama bagi orang dewasa 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak yakni lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS.
Penahanan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Penyididk yang melakukan tindakan penahanan, harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang akibat dari tindakan penahanan, dari segi kepentingan anak, seperti pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial.
Selain itu dipertimbangkan dengan matang kepentingan masyarakat, misalnya dengan ditahannya tersangka masyarakat menjadi aman dan tentram. Hal ini sulit didalam penerapannya, sebab dalam mempertimbangkan kepentingan yang dilindungi dengan melakukan penahanan, tidak mudah dan menyulitkan pihak penyidik yang melakukan tindakan penahanan. Dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten, seperti pembimbing kemasyarakatan, psikolog, kriminolog, dan ahli lain yang diperlukan, sehingga penyidik anak tidak salah mengambil keputusan dalam melakukan penahanan.
Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 menentukan bahwa alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat printah penahanan. Pelanggaran atau kelalaian atas Pasal Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Penahanan anak, didasarkan atas pertimbangan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Keharusan ini tidak ada akibat hukumnya, manakala pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Sanksi yang dapat diberikan terhadap penyidik anak tidak diatur atau akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum dibidang pengadilan anak ini semakin menunjukkan kelemahan KUHAP, terutama menyangkut pra-peradilan.
Dalam prakteknya, dasar pertimbangan dilakukan penahanan anak belum dipahami pihak kepolisian secara tepat. Mereka masih menganggap bahwa dasar pertimbangan dilakukan menahan anak, adalah karena anak melakukan tindak pidanya yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dikhawatirkan melarikan diri, merusak bukti atau mengulangi tindak pidana. Bila dipahami secara mendalam, dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan penahanan anak menurut Pasal 32 ayat (2) UU No. 11 tahun 2012 adalah Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Jika kepentingan anak menghendaki dilakukan penahanan, maka anak tersebut ditahan. Tetapi apabila kepentingan anak tidak menghendaki, walaupun anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, maka tidak dilakukan penahanan. Kepentingan anak dalam hal ini, ialah dipertimbangkannya pengaruh penahanan terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak, maka penahanan anak tidak dilakukan. Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir/tindakan terakhir dan dalam jangka waktu singkat. Mempertimbangkan kepentingan anak, dilibatkan balai pemasyarakatan yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap anak nakal, dapat juga dilibatkan ahli-ahli seperti kriminolog, psikolog, pemuka agama (rohaniawan) dan lain-lain.
Tempat penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi (Pasal 33 ayat 4 dan ayat 5 UU No.11 Tahun 2012). Penahanan anak ditempatkan lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS, tempatnya terpisah dari narapidana anak. Hal ini dilatar belakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul dengan narapidana anak, dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktek, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat penahanan di lembaga pemasyarakatan orang dewasa belum penuh. Hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana anak dan tahanan anak, berpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah didengar dan dilakukannya, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.















BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
1. Seorang anak tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya karena lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol dalam menilai tindakan yang dilakukannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak berurusan dengan aparat penegak hukum antara lain kurangnya perhatian keluarga, faktor pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi dibidang informasi dan komunikasi serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua.
2. Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.
B.Saran
1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, hal ini karena masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam melakukan sesuatu tidak /kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang di ambilnya. Oleh karena itu orang tua mempunyai kewajiban untuk membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak.
2. Hendaknya dasar legetimasi mengenai adanya pengaturan tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik agar tidak melakukan penahanan dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang bermasalah dengan shukum agar proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan prinsip peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
Daftar Pustaka

Dr.Marlina SH.M.HUM.2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
http://aminhamid09.wordpress.com/2012/11/15/perlindungan-hukum-terhadap-anak-pada-tahap-penyidikan/







Selasa, 12 November 2013

syariat islam di aceh



A. Pengertian syariat islam
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul ( Muhammad Yusuf Musa,1998:131).
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau hokum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-qur’an maupun hadis dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.
B. Sejarah penerapan syariat islam di Aceh.
1.         masa kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
( http//www.mahkamahsyariahaceh.go.id)
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya adalah:
a.      datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu sangat besar.
b.     Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
c.      Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul adil).
d.      Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
1.         Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. ]  30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
1.         Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
1.      Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2.      Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
3.      Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
4.      Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
Lembaga yang terkait penerapan syariat islam.
a.       Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.
b.      Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c.       Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenag member tahu dan mengingatkan anggota –anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
Tugas wilayatul hisbah.
Tugas yang harus di jalankan wilayatul hisbah antara lain:
1. Memperkenalkan dan mensosialisasi qanun dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan syariat islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan aturan akhlak dan moral yang baik.
2. mengawasi masyarakat agar mereka memahami peraturan yang ada dan berakhlak dengan akhlak yang luhur yang dituntun islam.
3. melakukan pembinaan agar para pelaku perbuatan pidana tidak melakukan perbuatan maksiat (kejahatan) lanjut.
Wilayatul hisbah diangkat secara khusus oleh gubernur pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten atau kota oleh bupati atau walikota sedangkat tingkat gampong di angkat oleh petugas tuha peut (tetua gampong) setempat. Jika dijabarkan tahapan tugas wilayatul hisbah dan kaitannya dengan penegak hukum syariah lain adalah:
a.       Tahap sosialisasi akan berhubungan dengan pimpinan gampong.
b.      Tahap penyidikan bertugas sebagai PPNS (petugas penyidik negeri sipil) dan akan berhubungan dengan polisi.
c.       Tahap penjatuhan hukuman bertugas sebagai petugas pencambuk dan akan berhubungan dengan kejaksaan.
d.      Mahkamah syariah.
Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadialan agama yang sudah di hapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam.
Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).
Sistem penyusunan hukum syariat islam di NAD
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Beberapa qanun yang telah disahkan
(agustus 2005)
Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan bahkan sudah ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini, diantaranya :
1.      Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat islam.
2.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang mem[roduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3.      Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4.      Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5.      Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
Hukuman cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a.       Terhukum dalam kondisi sehat.
b.      Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c.       Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d.      Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e.       Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f.        Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
g.       Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.
(al yasa abu bakar, 2006)
Kritik terhadap penerapan syariat islam
Penerapan syariat islam hamper jalan 10 tahun. Perlahan-lahan hukum positif yang dituangkan dalam KUHP digantikan dengan hukum Allah yang terangkum dalam Al-Qur’an dan Hadish dan di tuangkan dinas syariat islam ke dalam qanun. Pro dan kontra dari berbagai pihak terus saja mengalir. Mereka berusaha mengkritisi, mengevaluasi dan mengajukan ide baru untuk perbaikan system penerapan syariat islam ke depan.
Menurut Teuku Reiza Yuanda, penerapan syariat islam lebih berkorelasi dengan aspek politik, yaitu sebagai upaya pemerintah menyelesaikan konflik Aceh. Syariat islam cenderung di praktekkan dengan cara-cara kekerasan oleh masyarakat dan pihak pelaksana syariat islam sendiri tidak berdaya mencegah aksi kekerasan masyarakat tersebut. Hala yang sering muncul kepermukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, khamar yang direspon masyarakat melalui sweeping di kafe dan jalan dengan penekana pada busana wanita. Pelaksanaan syariat telah terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan lainnya, apakah korupsi dan manipulasi keuangan Negara dibenarkan dalam islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggar syariat islam tanpa proses hukum yang adil dibenarkan dalam islam? Sebagian besar masyarakat Aceh membenci pelanggar syariat islam padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajian sebagai seorang muslim.
Sedangkan H.Taqwaddin mengkritisi hukum rajam bagi pelaku zina dan di potong tangan untuk mencuri yang sedang hangat diwacanakan di Aceh sekarang.
1.      Negara tidak layak merajam orang yang berzina jka Negara tidak mampu menangkal  media yang menjurus kepada hal-hal yang berbau porno dan memicu zina. Negara harus menjalankan fungsinya dengan baik.
2.      Fungsi dan peranan hukum sering disamarkan sehingga seolah-olah masyarakat kalangan bawah tidak berlaku bagi kalangan atas.
Pemberlakuan syariat islam secara kaffah, yaitu keikutsertaan pemerintah untuk menegakkan agama islam secara semourna. Segala bidang baik hukum, kesenian, pendidikan, system pemerintahan akan akan dijalankan sesuai tata aturan yang dituangkan dalamhukum syariat islam. Membangkitkan semangat keagamaan dan memberikan ganjaran bagi merekan yang tidak menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai tuntutan hidup.
Pada periode ini dibuatlah aturan dalam bentuk qanun sebagai rujukan hakim untuk mengadili pelanggar syaariah. Pemerintah juga membentuk polisi khusus (wilayatul hisbah) untuk mengawasi dan mensosialisasikan jalannya qanun tersebut. Dinas syariat islam dibentuk untuk mengkoordinir terlaksananya syariat islam menjadi satu kesatuan. Peranan ulama sebagai penuntun dalam menelaah agama islam juga tidak di abaikan. Maka di  bentuklah MPU ( majelis permusyawaratan ulama ). Sebagai pemberi masukan, saran dan kritik.
Beberapa kemajuan yang dicapai sejak dari pertama diberlakukan diantaranya, kedudukan sekolah umum dengan sekolah madrasah menjadi setara. Kesempatan mengajar pelajaran agama di sekolah oleh guru dayah. Tgk imum gampong, guru pengajian memperoleh honorarium dari pemerintah. Pembangunan balai pengajian dan kegiatan penagjian di danai oleh pemerintah.
Pemerintah ingin memperbaiki kesalahan orde lama dan orde baru saat syariat islam secara kaffah bukan tuntutan masyarakat Aceh umumnya. Hasil penelitian oleh bustami ( pasca sarjana UGM, 2004 ) memperlihatkan bahwa kalangan ulama dan aktifis mahasiswa memang melakukan tuntutan agar syariat diberlakukan di Aceh, sedangkan aktivis LSM, cendekiawan, dan masyarakat kalangan bawah, tidak pernah melakukannya.
Jadi dalam penerapan syariat islam ini ada dua serangkai kuat dalam masyarakat. ulama sebagai pemimpin dan pengarah hidup dalam masyarakat. mahasiswa meski sebagai intelektual muda, pemerintahan setangguh rezim Soeharto bisa ditumbangkan, artinya peranan mahasiswa dalam masyarakat sangat besar.
Jika dikaitkan dengan pendapat Teuku Reiza yuanda yang telah diuraikan sebelumnya, penerapan syariat islam lebih berkorelasi dengan aspek politik. Maka kekuatan ulama dan mahasiswa digunakan pemerintah  untuk mempengaruhi masyarakat agar berpersepsi syariat islamlah juru kunci perdamaian di Aceh karena ulama sebagai orang cerdik dan bijak saja berdiri digaris depan.
Banyak kejanggalan dan kekurangan dari segi penerapan dari hukum syariat. Syariat islam yang paling mengemuka dari tahun 2001-sekarang adalah khalwat, judi, khamar, jilbab wanita, celana panjang bagi wanita. Akhir-akhir ini pun sempat di hebohkan dengan wacana pemberlakuan rajam bagi pelaku zina dan potong tangan bagi pencuri.
Memang minuman keras dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan perbuatan keji lain seperti pembunuhan, zina dan dosa-dosa besar lainnya. Judi dapat membawa kesengsaraan karena sifatnya untung-untungan. Negitu juga dengan pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh wanita yang merupakan aurat bagi mereka dan khalawat akan mendorong terjadinya pemerkosaan, perzinaan, pelecehan terhadap kehormatan wanita. Lebih parah lagi zina akan menghasilkan keturunan yang tidak diridhai oleh Allah, terlunta-luntanya anak-anak hasil zina,
Namun mengapa sampai sekarang tidak ada seorang pun pejabat pernah dihukum yang telah ketahuan melakukan KKN terus merajalela. Untuk Pemkab Aceh Utara sendiri 22 milyar uang rakyat lenyap, namun tidak ada sorotan dalam bidang syariat islam.
Lading ganja, pembunuhan, perampokan terus saja merajalela namun tidak pernah ada penanganan yang serius dari pihak berwenang. Media massa yang tidak islami terus saja bermunculan dan merupakan pencetak  oplah terbanyak di Aceh. Seperti Pro haba, rakyat Aveh, Metro Aceh. Koran ini menonjolkan berita seks, kriminalitas tanpa menghormati identitas korban suatu kejahatan. Dalam panduan komunikasi massa umum saja sudah ditegaskan tidak boleh memuat suatu berita dengan mengabaikan hak-hak orang yang diberitakan apalagi dalam komunikasi islami.
Hal ini selaras dengan pendapat H.Taqwaddin yang mengatakan pemerintahan tidak layak merajam orang yang berzina jika Negara tidak mampu menangkal mediayang menjurus kepada hal-hal yang berbau porno. Percuma saja pelarangan zina jika hal-hal yang memicu terjadinya zina terus menerpa umat islam.
Dari segi pakaian mengapa selalu celana panjang wanita yang menjadi sorotan dan rok menjadi solusinya? Jika rok juga dapat menonjolkan aurat intinya kan sama saja. Mengapa kaum lelaki yang memakai celana pendek tidak pernah dipermasalahkan? Padahal dia dalam islam jelas diatur aurat wanita adalah seluruh tubuh dan laki-laki dari pusar hingga lutut. Mengapa pula dalam VCD karya seni anak Aceh modelnya tidak memakai pakaian yang islami dan ceritanya disajikan tidak islami. Mengapa hal itu tidak mendapat perhatian dari dinas syariat islam atau pihak-pihak terkait lainnya. Ada apa dibalik semua itu???
Mungkin yang perlu dilakukan agar islam kembali jaya di Aceh sepeti pada masa Rasulullah adalah mencoba bangkit dari hal-hal kecil tapi efeknya sangat besar. Seperti disiplin waktu, menjaga kebersihan, ketertiban di jalan raya, penghormatan terhadap milik dan karya intelektual orang lain, kesopanan, rasa cinta kepada Allah dan Rasul.
Sosialisasi syariat islam perlu dilakukan dengan cara modern. Di bidang pakaian harus digiatkan seni merancang busana yang islami karena ada kecenderungan masyarakat kita berbusana sesuai trend. Maka kita harus menciptakan trend yang islami.
Dapat juga dilakukan melalui pemanfaatan media milik pemerintah seperti TVRI dan RRI. Produktivitas TVRI yang kurang berkembang perlu disokong dengan acara-acara yang berbasiskan islam. Media cetak islami perlu digiatkan perkembangannya. Jadi intinya adalah kita jangan hanya pandai melarang tanpa memberikan solusi, tapi solusi yang tepat akan meminimalisir hal-hal yang menguras keimanan kepada Allah SWT.
Kesimpulan
Syariat islam merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan hadish bagi umat islam tidak hanya segi ibadah namun juga bidang sosial, ekonomi, budaya agar tercipta kehidupan teratur, aman sentosa dunia dan akhirat.
Syariat islam sudah di terapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa. Pengadialn di bentuk di tingkat daerah dan di teruskan ke pusat jika terdakwa mengajukan banding. Beberapa hukum yang di laksanakan di antaranya rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan sengaja.
Masa orde lama dan orde baru tidak ada pelaksanaan syariat resmi dari pemerintah. Syariat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di tingkat gampong. Pemerintah memahami betul sikap orang Aceh yang menjunjung tinggi syariat islam sehingga digunakan sebagai senjata politik untuk menarik simpati rakyat dan berhasil.
Setelah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001, pemerintah mencanangkan syariat islam secara kaffah khusus wilayah Aceh. Syariat islam secara kaffah di artikan pelaksanaan hukum syariah secara sempurna oleh pemrintah daerah. Beberapa lembaga yang di bentuk untuk menjalankannya yaitu, dinas syariat islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan hukum syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.

PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAH DI ACEH (Kajian Yuridis Terhadap Pro kontra Antara Eksekutif dan Legeslatif)

PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAH DI ACEH (Kajian Yuridis Terhadap Pro kontra Antara Eksekutif dan Legeslatif) 1.1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Aceh dalam sepanjang sejarah dikenal sebagai masyarakat yang sangat dekat dan bahkan sangat fanatik terhadap Islam, sehingga masyarakat Aceh dalam kehidupannya selalu berbaur dengan ajaran Islam, sulit bagi kita memisahkan antara adat istiadat dengan ajaran Islam dikalangan orang Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan dalam pepatah Aceh, “hukum ngon adat lage zat ngon sifeut ( hubungan syari’at dengan adat adalah ibarat hubungan suatu zat (benda) degan sifatnya, yaitu melekat dan tidak dapat dipisahkan)”. Dalam pemahaman masyarakat Aceh, Syari’at Islam bukan hanya dalam aspek hukum dan peradilan saja, akan tetapi mencakup semua aspek kehidupan seperti Pendidikan, Ekonomi dan juga Sosial Kemasyarakatan. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Aceh telah mengajukan permohonan dan bahkan menuntut kepada pemerintah pusat agar diberikan izin pemberlakuan Syari’at Islam. Tuntutan ini akhirnya mendapat persetujuan juga dari pemerintah pusat dengan mengesahkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah istimewa Aceh. Kemudian pada tahun 2001 pemerintah pusat kembali mengesahkan Undang-undang No. 18 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebgai Provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Dalam hal ini Aceh diberikan Peradilan Syari’at Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syar’iyah, yang kewenangannya telah diatur dengan Qanun. Pada Oktober 2002, Qanun yang mengatur kewenangan Mahkamah Syar’iyah tersebut dan pada Maret 2003 Mahkamah Syar’iyah di Aceh diresmikan oleh Menteri Kehakiman dan ketuanya dilantik oleh Mahkamah Agung. Setelah ini, pada tingkat Nasional disahkan pula Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 15 menyatakan bahwa peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah peradilan khusus dalam lingkungan peradilan Agama dan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Melalui pembentukan Daerah Otonomi Khusus yang diatur oleh Undang-undang, Aceh sebagai Negara kesatuan Republik Indonesia dapat menerapkan syari’at Islam diwilayah hukumnya. 1.2. PEMBAHASAN A. Pengertian Qanun Jinayah Qanun jinayah terdiri dari dua kata, yaitu qanun dan jinayah, kata qanun berasal dari bahasa Arab yaitu qanna, yang bermakna membuat hukum dan kemudian qanun dapat diartikan sebagai hukum, peraturan atau Undang-undang. Sedangkan menurut kamus bahasa Arab-Indonesia, kata (qanun) berasal dari kata (qanna) yang berarti kaidah, Undang-undang atau aturan. Adapun jinayah secara etimologis berarti perbuatan terlarang. Menurut Ahmad wardi jinayah secara bahasa adalah: اسم لما يجنه المرء من شر وما اكتسبه “Nama bagi perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan”. Sedangkan pengertian jinayah menurut istilah fuqaha, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah: فالجناية اسم لفعل محرم شرعا، سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غير ذالك “Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainnya”. Menurut Sayid Sabiq pengertian jinayah adalah: “yang dimaksud jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang dan perbuatan dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda. Menurut Amir Syarifddin pengertian Jinayah atau lengkapnya adalah fiqh jinayah merupakan satu bagian dari pembahasan fiqh. Kalau fiqh adalah ketentuan yang bersifat wahyu Allah dan amaliyah yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah adalah secara khusus mengatur tentang pencegahan tidak kejahatan yang dilakukan oleh manusia dan sanksi hukuman yang dikenakan dengan kejahatan itu adalah mendatangkan kemaslahahtan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan mamfaat bagi manusia, maupun menghindari kerusakan dan kemudharatan dari manusia. Segala bentuk tindakan perusakan terhadap orang lain atau mahluk lain dilarang oleh agama dan tindakan tersebut dinamakan tindak kejahatan atau jinayah. Semua bentuk tindakan yang dilarang oleh Allah dan diancam pelakunya dengan hukuman tertentu itu secara khusus disebut jinayah. Menurut Sudarsono istilah fiqh jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang melakukan wajib mendapat hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain disebutkan bahwa jinayah itu perbuatan dosa besar atau kejahatan (kriminal/pidana) seperti membunuh, melukai seseorang, berzina dan menuduh orang baik berzina. B. Proses Pembentukan Qanun Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak berupa peraturan yang bersifat tertulis, pada umumnya didasarkan pada dua hal, pertama, pembentukannya diperintahkan oleh Undang-undang, kedua, pembentukannya dianggap perlu kerena kebutuhan hukum. Ketentuan mengenai prosudur pembentukan Undang-undang telah dituangkan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Undang-undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat diwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelanjaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka pada tingkat pusat pemerintah telah mengesahkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan, demi kian juga pada tingkat daerah, seperti halnya di Aceh telah disahkan qanun No. 3 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan qanun. C. Lembaga Pembentuk Qanun Pemahaman tentang siapa sebenarnya lembaga pembentuk Undang-undang di Indonesia masih seringkali menimbulkan perdebatan. Sebelum Undang-undang Dasar 1945 diamandemen jelas disebutkan bahwa yang memegang kekuasaan membentuk Undang-undang adalah presiden. Hal ini disebutkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal 5 ayat(1) yaitu “ presiden memengang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”. Setelah Undang-undang Dasar diamandemen tugas pembentukan Undang-undang dilimpahkan pada DPR, sebagaimana tertuang dalam pasal 20 (1) yaitu “ DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa DPR adalah lembaga legeslatif, yaitu pembentuk Undang-undang. Sebagian dari kita sering salah mempersepsikan atas hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada presiden untuk mengajukan rancangan Undang-undang sebagaimana yang tertuang dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, menunjukkan kebenaran bahwa presiden adalah lembaga legeslatif dengan arti mempunyai fungsi yang sama dengan DPR. Pada hal keterlibatan presiden dalam pembentukan Undang-undang ialah berfungsi dalam memberikan persetujuan terhadap ranacangan Undang-undang, bukan sebagai pembentuknya. Banyak dari kita salah dalam menafsirkan terhadap pasal 20 (2) UUD 1945 yang menyatakan “ rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan persiden untuk mendapat persetujuan bersama” diartikan presiden mempunyai kewenangan membentuk Undang-undang, pada hal dalam proses pembahasan bersama-sama ini hanya untuk mendapat persetujuan bersama terhadap rancangan Undang-undang, karna kedua lembaga ini mempunyai fungsi masing-masing yang berbeda, tentu saja fungsi presiden dalam hal ini hanya memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-undang yang diajukan kepadanya, akan tetapi tidak boleh juga ditafsirkan bahwa presiden hanya memberikan persetujuan semata, melainkan mempunyai hak menyempurnakan dan bahkan berhak tidak menyetujuinya. Dari tulisan diatas dapat pula dikembangkan dalam proses pembentukan Perda atau Qanun di Aceh juga sama halnya dengan pembentukan Undang-undang. Pembentukan Qanun di Aceh juga merupakan wewenang DPRA sebagai lembaga legeslatif dan Gebenur sebagai lembaga eksekutif untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam pembentukan qanun keterlibatan masyarakat juga sangat diperlukan, dengan memberikan kesempatan mengeluarkan pendapat, ditambah lagi keterlibatan Majelis Permsyawaratan Ulama untuk qanun yang berkenaan dengan syariat Islam. 1.3. PRO KONTRA ANTARA EKSEKUTIF DAN LEGESLATIF Pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis, kembali dipertegas dengan disahkannya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menegaskan bahwa Aceh diberikan kewenangan menjalankan Syari’at Islam secara kaffah yang diatur dalam Qanun. Upaya legislasi dalam pelaksanaan Syari’at Islam ini meliputi bidang Ibadah, Aqidah, syi’ar Islam, bidang Mu’amalah dan Jinayah. Dalam bidang Jinayah, ada beberapa Qanun yang telah diberlakukan di Aceh, seperti Qanun No. 12 tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian) serta Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (meusum). Ketiga Qanun tersebut belum memenuhi kriteria Syari’at, banyak ketentuan lain yang terdapat dalam Al-qur’an belum diatur dalam Qanun seperti halnya kasus rajam bagi penzina Muhsan dan jilid 100 kali bagi penzina Ghairul Muhsan. Atas dasar inilah DPRA periode 2004-2009 yang lalu mencoba membuat terobosan untuk membuat Qanun Jinayah Hudud dan Qanun hukum Acara Jinayah agar dapat menjalankan hukuman rajam tersebut. Dari kegigihan tersebut akhirnya rancangan Qanun tersebut dapat disahkan menjadi hukum positif pada tanggal 15 September 2009 yang lalu, Walaupun akhirnya menimbulkan pro-kontra terutama mengenai jenis hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan dan jilid 100 kali bagi pelaku zina Ghairul Muhsan. Hukum ini dianggap bertentangan dengan HAM dan Nilai-nilai kemanusiaan serta bertentangan dengan UUD 1945, demikian pernyataan ini dilontarkan oleh kalangan yang menolak pemberlakuan Qanun ini, ditambah lagi Gubernur selaku Kepala Pemerintahan di Aceh tidak mau menanda tangani akan Qanun tersebut. Namun dalam hal ini juga ada kalangan yang mendukung pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun Jinayah, mereka ini berargumen bahwa Qanun Jinayah ini tidaklah bertentangan dengan HAM dikarenakan materi hukumnya sudah jelas sebagaima diamanatkan dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang menyatakan bahwa Aceh diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam (hukum Jinayah). Selain itu hukum Jinayah bagi umat Islam merupakan keharusan yang harus dijalankan karena tuntutan dalam ajaran Islam tak ada perdebatan dalam tubuh umat Islam tentang hal ini, tetapi persoalannya akan muncul ketika ada gagasan untuk menegakkan Syari’at Islam di Indonesia. Syari’at Islam manakah yang akan ditegakkan, bagaimana formatnya, cara dan metodologi memperjuangkannya? Lebih dari itu, penegakan Syari’at Islam di Indonesia adalah sebuah dilema dan ironi sekaligus. Dilema, karena banyak orang yang mengaku muslim, justru merasa takut dan cemas ketika Syari’at Islam di tegakkan. Sedangkan ironi, sebagaimana yang tersebar dalam berbagai wacana tentang penegakan Syari’at Islam, banyak pemimpin Islam papan atas, dengan berbagai argumen dan tentunya potensi egonya, justru menolaknya tampa ada landasan yuridis yang kuat. Menjalankan Syari’at Islam merupakan Hak Fundamental dalam kebebasan beragama (freedom of religion), sebagaimana diakui dalam konvensi Internasional, sehingga hukum tersebut dianggap tidak bertentangan dengan HAM. Alasan demi alasan terus dilontarkan oleh semua kalangan yang pro dan yang kontra sehingga pemberlakuan Qanun Jinayah ini tidak dapat dijalankan, pada hal DPRA telah mengesahkan rancangan Qanun tersebut menjadi Qanun. Secara hukum rancangan Qanun tersebut sudah sah dan wajib diundangkan dalam lembaran Daerah, hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 38 (2) . dan juga dalam Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun pasal 37 (2) yang menyatakan bahwa “dalam hal rancangan Qanun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditanda tangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan Qanun disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah menjadi Qanun dan wajib diundangkan. Bila kita melihat sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia jelas mengatakan bahwa Undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berbicara tentang Syari’at Islam dalam kontek UUD 1945, maka dari sejak awal sudah terdapat permulaan yang baik, seperti terlihat dalam Piagam Jakarta yang mendahului pembukaan UUD 1945. Sekalipun terdapat kontroversi dalam pencoretan terhadap tujuh kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut, akan tetapi oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Konstitusi yang ada di Indonesia. 1.4. KESIMPULAN 1. Qanun jinayah adalah aturan perundang-undangan yang mengatur segala bentuk tindakan kejahatan (kriminal/pidana) terhadap orang lain, yang ditetapkan oleh syara’ dan sangat dilarang untuk melakukannya. 2. Qanun Jinayah yang telah disahkan oleh DPRA pada 15 September 2009 yang lalu, akan tetapi tidak dapat diterapkan, ini tentunya menjadi tanda Tanya bagi kita semua, kenapa bisa seperti ini? Ada apa sebenarnya? Dan apa yang menjadi alasan hukum sehingga Qanun tersebut tidak dapat diberlakukan. Sedang alasan untuk sementara pihak yang menolok (Eksekutif) bahwasanya mereka mengatakan bertentangan dengan HAM dan juga pertetangan dengan undang-undang yang lebih tertinggi (maksudnya undang-undang NRI tidak ada yang namanya hukuman bagi belaku pembunuhan potong tangan atau penzina itu dirajam. Akan tetapi pihak pro (Legeslatif) yang menerapkan pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun Jinayah, mereka ini berargumen bahwa Qanun Jinayah ini tidaklah bertentangan dengan HAM dikarenakan materi hukumnya sudah jelas sebagaima diamanatkan dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang menyatakan bahwa Aceh diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam (hukum Jinayah). hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 38 (2) . dan juga dalam Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun pasal 37 (2) yang menyatakan bahwa “dalam hal rancangan Qanun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditanda tangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan Qanun disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah menjadi Qanun dan wajib diundangkan.
http://qanunjinayahdiaceh.blogspot.com/2011/04/pemberlakuan-qanun-jinayah-di-aceh.html
Setiap aspek kehidupan dalam Syariat Islam pelaksanaannya tidak hanya sebatas memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan tujuantujuan tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat (sebab) yang dapat dipahami atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud dan latar belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbudi dan yang hikmahnya tidak masuk akal (ma’qul) yaitu ada rincian rahasia di balik pensyari’ataanya itu (Yusuf Qardhawi 1991). 
         Allah SWT. menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia, telah datang kepadamu  ma’izhah (pengajaran) dari RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57). Namun barang siapa tidak mentaati seluruh ajaran Allah dan mengabaikannya  tidak akan berpengaruh kepada kekuasaan Allah di langit dan dibumi, dan segala maksiat dan kekufuran mereka tidak akan mencelakakan Allah tapi justru segala itu akan kembali si pelakunya. Oleh sebab itu tujuan pelaksanaan Syariat Islam terutama sekali untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Meskipun  Syariat Islam telah berlangsung lebih 10 (sepuluh) tahun, secara fenomenalogy prilaku remaja selama ini tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan dan peningkatan persentase penyimpangan, baik ketika mereka berada di lembaga, bahkan lebih parah ketika mereka berada di luar, seperti beberapa kasus remaja yang  ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), sudah dapat dikatagorikan sebagai  juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi.
               Hal ini terjadi karena nilai-nilai Islam yang diberlakukan di Aceh belum bisa masuk menjadi nilai-nilai struktural formal,  dalam  berbagai kehidupan masyarakat  termasuk program pendidikan, sehingga prilaku-prilaku tersebut  dengan mudah berkembang. seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai  free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), marak terjadi sudah dapat dikatagorikan sebagai  juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9).
Demikian juga halnya dengan Laporan Dinas  Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009, Di Banda Aceh sejak tahun 2006 terdapat 132 kasus (42 kasus berat, 90 kasus ringan), tahun 2007 terdapat 149 kasus (47 kasus berat, 102 kasus ringan), tahun 2008 terdapat 103 kasus (22 kasus berat, 77 kasus ringan), tahun 2009 terdapat 91 kasus (21 kasus  berat, 70 kasus ringan) dan sampai dengan Februari 2010 terdapat 6 kasus khalwat berat. 
         Dari keseluruhan jumlah kasus yang ditemukan, sebagian besar pelakunya adalah remaja, hal ini cukup sejalan dengan studi/survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan  the United Nations Children’s Fund (Unicef), tercatat bahwa dari jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang beroperasi di Aceh, 10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau berstatus mahasiswi. 
          Dari berbagai prilaku menyimpang dan  khalwat yang terjadi selama ini 90% terjadi pada remaja (Dinas Syariat Islam 2009). 70%  lebih berada pada kelompok remaja, yang berumur 15 tahun ke atas, ini  berarti pada umumnya, usia ini mereka sedang duduk di Sekolah  Menengah Atas (SMU) dan perguruan tinggi, di bawah dan di atas usia peruguruan tinggi  kejahatannya menurun.
             Menurut  Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat/mesum  adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang  mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan  muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Bentuk larangan terhadap khalwat adalah segala bentuk kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina, sehingga  qanun ini kemudian ditetapkan dengan tujuan  menegakkan  Syariat Islam dan adat, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan, mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum, serta dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral. 











hal 4 Krisis moral yang dialami Eropa sejak reformasi, dan pemisahan konsekuen antara sekuler dan kekuasaan agama, hanya bisa diselesaikan dengan agama baru: agama itu sciene "
suatu kesatuan sistem kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal kudus.
Hal 8. PERTAMA, awal sistem hukum Islam memiliki dua andalan yang tidak seperti orang-orang dari setiap sistem hukum kontemporer. Pertama, sistem Islam adalah sifatnya bukan tatanan hukum sekuler tapi salah satu emanasi ilahi dan suci. Ini merupakan aplikasi spesifik iman Islam untuk hubungan manusia: islam tidak hanya agama tetapi juga seperangkat aturan yang mengatur perilaku faikhul dan mengatur hubungan mereka dalam masyarakat.
Kedua, The tatanan hukum Islam tidak dipecah menjadi cabang terpisah hukum seperti sistem hukum yang paling kontemporer, yang meliputi hukum publik dan swasta. ... Dalam Islam, oleh karena itu, hanya ada satu Tuhan dan satu hukum. Hukum ini ditujukan kepada semua tanpa distintion atau diskriminasi.
Hal 9. " The Arab syari'at kata mengacu pada hukum dan cara hidup yang ditentukan oleh Allah ( SWT ) untuk hamba-Nya . Syari'at berkaitan dengan ideologi dan keyakinan , perilaku dan tata krama , dan hal-hal sehari-hari yang praktis . " Untuk masing-masing di antara kamu , kami telah diresepkan hukum dan cara yang jelas . (QS. 5:48) Syariah meliputi theQur'an dan sunnah nabi ( saw ) . Al Qur'an adalah firman langsung dari Allah (SWT ) , dan merupakan yang pertama sumber yang paling penting dari bimbingan dan keputusan . Sunnah Nabi ( saw ) adalah sumber kedua bimbingan dan keputusan . Sunnah adalah inspirasi dari Allah ( Swt ) , tetapi disampaikan kepada kita melalui kata-kata dan tindakan Nabi ( saw ) , dan persetujuan dengan tindakan orang lain . Sunnah menegaskan putusan Al-Qur'an , rinci beberapa konsep , hukum dan hal-hal praktis yang secara singkat dinyatakan dalam Al Quran ( misalnya definisi Islam , Imn , dan Ihsan , rincian jenis salat riba ) , dan memberikan beberapa hal rulingsregarding tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Al Quran ( misalnya mengenakan pakaian sutra untuk pria ) .
(The fiqh bahasa Arab berarti pengetahuan, pemahaman dan komprehensif Hal ini mengacu pada keputusan hukum dari para ulama Muslim, berdasarkan pengetahuan mereka tentang syari'at,. Dan dengan demikian merupakan sumber ketiga putusan.)
Hal 10. Kasus yang berbasis pada kebulatan cendekiawan Muslim dan analogi langsung mengikat. Keempat sekolah Sunni pemikiran, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, adalah identik dalam sekitar 75% dari kesimpulan hukum mereka. Varians di sisa dapat ditelusuri ke perbedaan metodologi dalam memahami atau otentikasi bukti tekstual utama. Sudut pandang yang berbeda kadang-kadang ada bahkan di satu sekolah pemikiran.
Hal 11. Al-Quran adalah perkataan Tuhan, Tuhan Dunia ", seperti yang diwahyukan kepada utusan-Nya yang dipilih untuk komunikasi bagi semua orang. Hal itu terungkap dalam fragmen lebih dari 23 tahun (610-632), masing-masing wahyu yang dibuat kapan dan di mana diperlukan, biasanya untuk memecahkan masalah specivic. Al-Quran diberikan sebagai panduan untuk manusia, dalam totalitas, kehidupan spiritual, individual, dan kolektif sementara, dan untuk semua kelas waktu throughtout individu dan masyarakat dan ruang.
murni, sederhana tauhid-kepercayaan keesaan Tuhan, meskipun juga berkaitan dengan semua aspek kehidupan
Lima prinsip dasar yang merupakan dasar dari sistem hukum Islam sebagai awhole, yaitu: Keadilan, kesetaraan, konsultasi demokrasi, menghormati komitmen, dan timbal balik.
Hal 15. Sunnah atau tradisi Nabi, adalah sumber kedua dari tatanan hukum Islam. Perilaku Rasulullah dan perilaku dalam kehidupan misinya, kata-katanya, perbuatan dan reaksi terhadap perbuatan orang lain itu, merupakan sumber aturan yang memiliki kekuatan hukum di bawah sistem Islamc. Aturan yang saling melengkapi dengan yang Quran dalam bahwa mereka hanya menegaskan kembali atau interpretthem atau menentukan bagaimana mereka harus diterapkan.
Hal 21-22. Bagian yang paling sulit dari Hukum Islam bagi kebanyakan orang Barat untuk graps adalah tha tidak ada pemisahan churs dan negara . Agama Islam dan pemerintah adalah satu. Hukum Islam dikendalikan , dikuasai , diatur oleh agama Islam . Teokrasi mengontrol semua urusan publik dan swasta . Pemerintah , hukum , dan agama adalah satu. Ada berbagai tingkat konsep ini di banyak negara , tapi otoritas semua hukum, pemerintah dan sipil bersandar pada itu dan itu merupakan bagian dari agama Islam. Ada hukum perdata di negara-negara Muslim untuk orang-orang Muslim dan non-Muslim . Syariah hanya berlaku untuk Muslim. Kebanyakan orang Amerika dan lain-lain dididik dalam hukum umum memiliki kesulitan besar dengan dari konsep . Konstitusi Amerika Serikat ( Bill of Right) melarang pemerintah dari " membangun sebuah agama . " Mahkamah Agung AS telah menyimpulkan dalam banyak kasus bahwa Pemerintah AS tidak dapat mendukung satu agama atas yang lain . Konsep yang tersirat bagi sebagian besar sarjana hukum AS dan banyak akademisi AS percaya bahwa setiap campuran " gereja dan negara " adalah kejahatan yang melekat dan penuh dengan banyak masalah . Yang menolak semua bangsa campuran agama dan pemerintah "