Rabu, 09 Mei 2012

Hukum Pidana (Pertanggung jawaban Pidana Anak)


Kelompok hukum pidana
ketua: Aisyah Kurnia H.G
          Agus Fauzi
          Alfahril Azmi Siregar
          Mariono
          Mierza Anggara
SMT/Unit: II/D
Fakultas/Jurusan: Hukum/Ilmu Hukum
Universitas Samudera Langsa
Kata Pengantar

Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Pidana”. Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang konsep yang ada didalamnya.

Akhirnya  penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu  penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.






Langsa, April 2012

Penyusun

Kata Pengantar        ............................................................................................    1
Daftar Isi        .......................................................................................................     2
BAB I Pendahuluan                       ..................................................................................  3
A.   Latar Belakang         ..................................................................................  3
B.   Rumusan Masalah ..................................................................................  4
BAB II Pembahasan           ..................................................................................  5
A.   Pemahaman Pertanggungjawaban Pidana Anak        ............................        5
B.   Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum. .......     11
C.    Upaya Penanggulangan Permasalahan Anak Diluar Hukum Positif         .......     18
1.    Divesi       ............................................................................................    18
2.    Pelaksanaan Diversi di Indonesia (Studi Kasus di Kota Bandung)....    19
3.    Restorative Justice        ....................................................................... 23
4.    Pelaksanaan Konsep Restorative Justice di Indonesia     ..................      25
D.   Contoh Tindak Pidana Yang di Lakukan Oleh Anak   .............................       32
1.    Kasus Pencurian Sandal Yang Dilakukan Oleh AAL        ..................      32
2.    Kasus Sengatan Lebah Yang Dilakukan Oleh DYD                      ..................      37
BAB III Penutup       ..............................................................................................  39
A.   Kesimpulan  ..............................................................................................  39
B.   Saran .........................................................................................................   40
Daftar Pustaka         ..............................................................................................  41

BAB I
Pendahuluan
A.Latar Belakang
            Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada dalam pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU No.3 Tahun 1997 pengertian anak yang dapat dimasukkan dalam sistem peradilan pidana adalah anak yang telah mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
            Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak. Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara lain semakin meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hokum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan anak-anak.
            Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak energy para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas kriminal dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-pemikiran baru mengenai arah kebijakan hokum dimasa depan.

            Arah kebijakan hokum brtujuan menjadikan hokum sebagai aturan yang memberikan perlindungan bagi hak-hak WN dan menjamin kehidupan generasi dimasa depan. Oleh karena itu, sistem hokum tiap negara dalam praktiknya terus mengalami modernisasi dan tidak ada satu negara pun yang dapat menolaknya. Contohnya negara Indonesia yang menuntut dilakukannya perubahan disegala bidang, diantaranya perubahan bidang hokum dengan memunculkan pemikiran-pemikiran baru untuk mereformasi hokum yang ada saat ini.
B.Rumusan Masalah
A. Pemahaman Pertanggungjawaban Pidana Anak.
B. Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.
C. Upaya Penanggulangan Permasalahan Anak Diluar Hukum Positif
D. Contoh Tindak Pidana Yang di Lakukan Oleh Anak







BAB II
Pembahasan
A.Pemahaman Pertanggungjawaban Pidana Anak
Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana.
Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu :
1.    Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar aturan ini.
2.    Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu.
Pertanggungjawaban pidana mengsyaratkan pelaku mampu bertanggungjawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab dan apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggungjawab itu.
KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemapuan bertanggungjawab harus adanya kemampuan untuk membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, sesuai hokum dan yang melawan hokum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang tidak mampu menetukan kehendaknya, menurut kehendaknya, menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, menurut pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam tubuhnya.
Selanjutnya, mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Criminee Wetboek) tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toeliching (MvT) Menteri kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang,sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingini , mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat, adanya “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Kedua teori Moeljatno tersebut lebih cenderung kepada teori pengetahuan dan membayangkan,alasannya adalah :
Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang terlebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh teKonsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, (1)harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai (2)antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin terdakwa.
Secara umum ilmu hokum pidana membedakan 3 (tiga) macam kesengajaan, yaitu:
1.    Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoggmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.
2.    Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi.
3.    Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis.
Mengenai kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WsV sebagai berikut:
Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan dilarang itu bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.
Dari apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas, Moeljatno menyimpukan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya sama,yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasannya pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif klausal yang menimbulkan keadaan yang dilarang.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakanpemidanaan  Pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan seorang anak. Hal ii disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang perpikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya.
Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
Undang-undang  No.3 tahun 1997 Bab III  memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam pasal23 UU No.3 Tahun 1997 pidan ayng dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana kurungan (c) Pidana denda (d) pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu dan ataupembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan; (1) dikembalikan kepada orang tuanya, (2) ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada negara.
                        Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.
            Pada pasal 64 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur perlindungan terhadap anak yaitu:
1.    Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak
2.    Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
3.    Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4.    Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tebaik bagi anak
5.    Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.
6.    Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dapat dilakukan penahanan. UU nasional memberikan peluang dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana. Contohnya pasal 43 ayat 2 UU No.3 tahun 1997 menyatakan bahwa “Penangkapan anak nakal dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari”. Dalam pasal 44 ayat 2menyebutkan bahwa “Penahanan hanya berlaku utuk paling lama 20 hari. Dalam ayat 3 menyebutkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang, untuk paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4 menyatakan bahwa “Dalam jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana yang dimaksud  dalam ayat 3 sudah harus menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum. Jika dalam jangka waktu 30 hari polisi belum menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada ditempat khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
B. Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.
          Pembinaan terhadap anak yang terlanjur melakukan tindak pidana merupakan tanggung jawab semua pihak. Orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memperbaiki kondisi anak yang sudah terlanjur masuk ke dalam proses hokum. Masyarakat berkewajiban mengontrol perbaikan anak sehingga tidak mengulangi tindakan kriminal lagi atau menjadi kriminal kambuhan. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan yang sudah berpengalaman dalam menangani permasalahan sosial cukup efektif untuk menjadi tempat pemidanaan dan pemulihan anak setelah terlanjur terjerumus kedalam perilaku kriminal sebelumnya. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan tersebut dapat menjadi pembinaan dan pendidikan serta bimbingan semua pihak diharapkan agar anak tersebut dapat terus berkembang kearah yang baik dan tidak mengulangi tindakannya kembali.
            Lembaga pemasyarakatan anak sebagai tempat pembinaan narapidana anak, lembaga tersebut diharapkan dapat memberikan proses pembinaan yang baik agar anak dapat menjadi anggota masyarakat yang baik setelah selesai menjalankan pembinaan. Pembentukan dan pengembangan keikut sertaan lembaga-lembaga tersebut dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hokum.
            Lembaga-lembaga tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan, pembinaan, perawatandan pendidikan. Selanjutnya dalam upaya perlindungan terhadap anak diperlukan adanya kerjasama antara lembaga sosial dan lembaga pemerintah lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap anak. Dalam pasal 5 UU No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang menyatakan bahwa pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas:
1.    Pengayoman
2.    Persamaan perlakuan dan pelayanan
3.    Pendidikan
4.    Pembimbingan
5.    Penghormatan harkat dan martabat manusia
6.    Kehilangan Kemerdekaan
7.    Terjamin hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga melaksanakan pembinaan terhadap para terpidana agar siap untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan menjadi masyarakat yang baik dan taat hokum. Program pemasyarakatan bagi narapidana anak bertujuan agar anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya dan tetap dapat menjalani kehiduan secara normal. Program yang dibuat dalam lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan anak dimasa depan.
Para pelaku anak yang melakukan tindak pidana serius yang berada dilembaga pemasyarakatan anak tetap disediakan fasilitas pengembangan kemampuan seperti hobi, pelatihan keterampilan, bimbingan/konseling dan kegiatan mental lainnya semaksimal sesuai dengan kemampuan lembaga. Untuk pendidikan disediakan sekolah khusus didalam lembaga. Tujuannya agar anak tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan mempersiapkan keterampilan kerja untuk bekal selesai menjalani pembinaan.
Di Indonesia anak yang dibina dilembaga khusus, anak dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
a.    Anak pidana, yakni anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan
b.    Anak negara, yakni seorang anak yang diputus bersalah oleh pengadilan yang diserahkan pada negara untuk dididik sampai dengan usia 18 tahun.
c.    Anak sipil, yakni anak yang berdasarkan permintaan orang tua/walinya memperoleh penetapan dari pengadilan negeri, dititipkan ke lembaga pemasyarakatan khusus anak.
Pembinaan terhadap anak sesuai dengan keputusan menteri kehakiman n0.2-PK04.10 tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan anak dilakukan dalam 4 tahap yaitu: 
1.    Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap maximum security yaitu 0-1/3 masa pidana. Pengawasan pada tahap ini cukup ketat dikarenakan pembina belum mengetahui akan sifat, watak dan perilaku dari narapidana tersebut. Tahap ini diawali dengan tahap admisi dan orientasi. Tahap admisi dan orientasi dimulai sejak seorang anak memasuki lembaga yang dilengkapi dengan surat lengkap (vonis), lama pidananya dan untuk penentuan tanggal bebasnya. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah pengenalan lembaga, pengenalan petugas lembaga, penjelasan mengenai hak dan kewajiban anak didik dilembaga dan penyidikan mengenai identitas pribadi narapidana, pendidikan narapidana yang terakhir, pekerjaan, keadaan lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah dan motif pidana (sebs-sebab mengapa melakukan tindakan pidana yang diancam oleh UU). Hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak pembina tersebut penting dalam upaya penyusunan program pembinaan dan pekerjaan apa yang sesuai dengan diri narapidana anak tersebut. Waktu tahap admisi untuk anak tahanan 1(satu) minggu sedangkan untuk anak negara, anak didik, dan anak sipil adalah 1(satu) bulan. Pada pelaksanaan tahap ini sangat diperlukan social inquiry reports yang dibuat oleh Bapas sehingga tidak perlu penelitian ulang. Namun dalam kenyataannya terkadang ada narapidana yang pada saat putusan pengadilan tidak melampirkan penelitian dari bapas dan hal ini merupakan kendala sehingga pembina harus melakukan pendataan ulang.
2.    Tahap Kedua
Tahap ini dilaksanakan pada saat 6 bulan pertama untuk anak negara dan sipil dan untuk anak narapidana anak dilakukan antara 1/3 sampai ½ masa hukuman. Tahapan ini merupakan tahap medium security, karena pengawasan pada tahap kedua ini tidak seketat pada tahap pertama. Pada tahap kedua ini pengawasan dilakukan hanya untuk mengetahui bagaimana narapidana anak menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan peraturan yang berlakudalam lembaga. Untuk itu dalam tahapan ini telah diadakan evaluasi terhadap program tahap pertama. Tahap kedua ini narapidana telah memperoleh pendidikan umum, pendidikan mental, pendidikan sosbud, pendidikan kepribadian, pendidikan kepribadian, pendidikan keterampilan, dan bekerja dalam lapas.
3.    Tahap Ketiga
Tahap ketiga dikenal dengan tahap asimilasi yaitu narapidana mendapatkan pembinaan dengan kesempatan untuk melakukan kerja pada tempat latihan milik lapas diluar lingkungan lapas seperti kegiatan perkebunan diluar lapas.
Usia anak negara dan anak sipil yang berada pada tahap ketiga ini adalah dimulai 6 (enam) bulan kedua, sedangkan untuk anak narapidana saat menjalani ½ sampai 2/3 masa hukuman. Pada tahap ini anak dididik diperkenalkan dengan jati diri anak itu sendiri secara lebih mendalam meliputi kecerdasan mental dan iman. Mulai diperkenalkan dengan masyarakat sekeliling lembaga melalui jalan olah raga, pramuka dan sebagainya.
4.    Tahap Keempat
Tahap ini disebut tahap integrasi, dilaksanakan terhadap anak negara dan anak sipil pada 6 (enam) bulan keempat, sedangkan pada anak narapidana dlaksanakan setelah menjalani 2/3 masa hukumannya sampai habis masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan sangat kurang (minimum security) dan bagi anak didik yang betul-betul telah sadar dan berkelakuan baik berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan, mereka dapat mengusulkan:
a.    Cuti Biasa
Yaitu cuti yang diberikan kepada anak didik, baik anak narapidana maupun anak negara selama 2 (dua) minggu atau permohonan dari orang tua/wali didik anak, setelah waktu tersebut , mereka harus kembali masuk lembaga.
b.    Cuti Menjelang Bebas
Yaitu cuti yang diberikan pada anak sipil atau anak negara menjelang anak tersebut berusia 17 tahun enam bulan sampai dengan 18 tahun, sedangkan pada anak pidana setelah 2/3 ke atas masa hukumannya  sampai habis pidananya.
c.    Pelepasan Bersyarat
Diperuntukkan bagi anak narapidana dilaksanakan dengan ketentuan pasal 15 sampai dengan pasal 17 KUHP. Bagi anak didik yang memperoleh cuti menjelang lepas ataupun pelepasan bersyarat, berada dibawah pengawasan ketat dari Bispa disamping pernyataan orang tua/wali untuk benar-benar mendidik dan mengawasi mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari anak didik kembali ke lembaga sebagai residivis, inilah pentingnya pembinaan sesuai pasal 277 dan 280 KUHAP.
            Lamanya pembinaan anak didikdi lembaga ditentukan anak didik dengan status anak negara paling lama sampai usia 18 (delapan belas) tahun dan anak didik dengan status narapidana 21 (dua puluh satu) tahun. Bagi anak narapidana yang belum selesai menjalani masa hukumannyadi lembaga mengingat saat melakukan hukuman usia 12 (dua belas) sampai usia 18 (delapan belas) tahun atau dijatuhkan hukuman 4-15 tahun. Setelah anak berusia 21 tahun, harus menghabiskan sisa masa hukuman di LP dewasa.
            Aparat penegak hokum yang terkait dalam sistem peradilan anak, memikirkan kembali untuk tidak menghukum akan tetapi mengambil tindakan lainnya. Hukuman terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya. Ganti rugi yang dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan oleh sistem peradilan pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar sejumlah uang atau kerja, baik langsung maupun penggantinya.
            Ganti rugi yang paling sesuai untuk anak adalah kerja proyek masyarakat dibandingkan dalam bentuk ganti rugi uang. Seorang anak yang diputus untuk ganti rugi oleh pengadilan dapat dimasukkan kedalam program kerja secara berkelompok dengan teman-teman yang lain. Ganti rugi dengan kerja proyek akan melatih anak untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab atas hukuman yang diberikan kepadanya. Bentuk dari hukuman berupa sanksi ganti rugi ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan hokum pidana untuk anak dalam rangka perlindungan anak yang berkonflik dengan hokum.
C. Upaya Penanggulangan Permasalahan Anak Diluar Hukum Positif
          Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya penanggulangan berupa pencegahan tanpa menggunakan hokum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa. Konsep “Diversi dan Restorative Justice” merupakan bentuk alternative penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep “Diversi dan Restoratif Justice” merupakan suatu bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah berkembang dibeberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.
            Adanya beberapa persoalan pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia, menuntut pentingnya dikaji pengembangan konsep diversi dan restorative justice dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia.
1.DIVERSI
            Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan keluar pelaku pidana anak dari sistem peradilan pidana anak. Diversi dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa.
            Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan atau pemberiaan kesempatan kepada pelaku untuk berubah. Petugas harus menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dengan cara pendekatan persuasif dan menghindarkan penangkapan dengan menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan untuk melaksanakan diversi. Penggunaan kekerasan akan membawa kepada sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegak hukum.
            Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku memperbaiki diri. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan, akan tetapi diversi merupakan cara baru menegakkan keadilan dalam masyarakat.
2.Pelaksanaan Diversi di Indonesia (Studi Kasus di Kota Bandung)
            Konsep diversi merupakan konsep yang baru di Indonesia, awalnya konsep diversi ini muncul dalam sebuah wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Berawal dari pengertian dan pemahaman dari wacana seminar yang diadakan tentang konsep diversi menumbuhkan semangat dan keinginan untuk mengkaji dan memahami konsep diversi tersebut.
            Konsep diversi adalah konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Selanjutnya secara intern kelembagaan masing-masing membicarakan kembali tentang konsep diversi dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Dari  diskusi-diskusi intern yang dilakukan masing-masing lembaga berkeinginan untuk membicarakan konsep diversi secara luas sesama aparat penegak hukumyang terlibat dalam peradilan pidana terhadap anak.
            Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta diadakan diskusi diantara aparat penegak hukum yang terkait dalam sistem peradilan pidana anak untuk membicarakan mengenai langkah terbaik dalam upaya penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana anak. Diskusi yang dilakukan diantara aparat penegak hukum bertujuan mencari solusi yang terbaik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak. Setelah adanya diskusi tersebut para hakim di Bandung secara intern membicarakan tentang langkah awal yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan tehadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu dengan mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang tunggu khusus anak. Munculnya ide pembuatan ruang khusus anak dan ruang tunggu anak untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar selama menunggu proses pengadilan dilangsungkan dan proses penahanan anak terpisah dengan tahanan dewasa.
            Untuk mewujudkan ruang sidang anak dan ruang tunggu anak tersebut ketua Pengadilan Negeri Bandung mengadakab diskusi dengan pemerintah kota bandung dan pemerhati masalah anak di Bandung. Diskusi tersebut dilakukan untuk mendapatkan tanggapan mengenai keinginan Pengadilan negeri Bandung untuk mendirikan ruang tunggu tahanan khusus anak dan ruang tunggu anak. Diskusi yang dilakukan menghasilkan kesepakatan dan keinginan serta dorongan untuk mewujudkan cita-cita besar Pengadilan Negeri Bandung untuk memiliki ruang tahanan khusus anak dan ruang tunggu anak. Akhirnya pada tanggal 13 Agustus 2004 kedua ruang tersebut telah berhasil dibangun di Pengadilan Negeri Bandung.
            Perhatian terhadap perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum terus dilakukan. Secara continue dalam setiap kesempatan diskusi, hakim Pengadilan Negeri Bandung membicarakan tentang perkembangan konsep diversi dan restorative justice. Melihat adeanya perhatian yang serius aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Bandung, maka UNICEF menetapkan kota Bandung sebagai Pilot Project dalam pelaksanaan konsep diversi dan restorative justice di Indonesia.Berikut pelaksanaan peradilan pidana anak di Kota Bandung.
a.    Lembaga Kepolisian
Pasal 59 UU No.23 Tahun 2002 mewajibkan pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum. Selanjutnya dalam pasal 64 mengatakan bahwa perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.
            Kepolisian kota Bandung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melakukan penyidikan terhadap dugaan terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak. Untuk memberikan perlindungan kepada anak, penyidik yang melakukan penyidikan adalah penyidik polisi wanita yang memiliki minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Penyidikan oleh polisi wanita dimaksudkan untuk memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. Penyidik perlu meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, dan sebagainya. Pemeriksaan anak pelaku tindak pidana dilakukan diruang khusus dan bersifat rahasia.
            Terhadap kasus berat seperti perkelahian yang menyebabkan lukanya seseorang, polisi melakukan penangkapan terhadap anak pelaku tindak pidana. Saat penangkapan polisi segera memberitahukan orang tua atau wali atau orang terdekat dengan anak tentang penangkapan tersebut. Pemberitahuan tersebut penting untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Sedang terhadap tindak pidana ringan seperti pencurian ringan dan penganiayaan ringan, polisi berhak memberikan peringatan dan tindakan diversi.
            Upaya penghindaraan penahanan dilakukan untuk mengurangi akibat negatif yang lebih besar lagi. Tindakan untuk tidak menahan dikarenakan menurut penilaian bahwa anak tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan anak tersebut masih dapat diperbaiki.
b.    Lembaga Kejaksaan
Anak pelaku tindak pidana yang menurut penilaian sangat serius tindak pidananya selanjutnya akan diproses oleh pihak penuntut umum untuk dilanjutkan ke proses persidangan. Jaksa penuntut umum setelah mendapat laporan dari penyidik tentang kasusnya maka penuntut umum membuat rencana penuntutan tterhadap kasus tersebut. Keputusan tuntutan yang telah disetujui inilah yang akan diajukan ke lembaga pengadilan sebagai proses pelimpahan perkara dari penuntut umum ke pihak pengadilan.
Konsep ini dilakukan dengan hati-hati agar dalam penerapannya tidak menimbulkan kesalahan pandangan sesama aparat penegak hukum yang terlibat dalam peradilan pidana anak. Untuk itu dalam memahami dan melaksanakan kedua konsep tersebut dilakukan dengan memberikan pemahaman dan pengertian secara continue agar tumbuh pemahaman tentang perlindungan terhadap anak.
c.    Lembaga Pengadilan
Berdasarkan UU Republik indonesia No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 Ayat 2 yang berbunyi “Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”, dan dalam pasal 15 ayat 1 disebutkan “Yang dimaksud dengan Pengadilan Khusus dalam ketentuan ini antara lain adalah Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Azasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”, dengan demikian Pengadilan Anak berada dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pengadilan anak mempunyai fungsi khusus, ke khususan itu secara normatif dicerminkan dengan ketentuan hakim yang menyidangkan perkara anak secara khusus, artinya tidak semua hakim dapat mengadili perkara anak, kemudian kekhususan itu juga terletak pada acara persidangannya.
3. Restorative Justice
            Restorative Justice adalah proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku dan masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan semua kerugian yang diderita oleh semua pihak.
            Konsep Restorative Justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai suatu pengrusakan norma hokum. Menurut pandangan konsep ini, penanganan kejahatan yang terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara akan tetapi merupakan tanggung jawab masyarakat. Pelaksanaan konsep ini member banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian masalah tindak pidana. Konsep ini juga mempunyai suatu kerangka pikir dalam upaya mencari alternatif penyelesaian terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak tanpa hukuman pidana.
            Konsep Restorative Justice ini bertujuan untuk mencari jalan keluar dari model keadilan tradisional yang berpusat pada penghukuman menuju kepada keadilan masyarakat yang berpusat pada pemulihan. Dalam penyelesaian suatu kasus menurut konsep ini peran dan keterlibatan anggota masyarakat sangat berguna dan penting untuk membantu memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan yang bersangkutan. Penyelesaian dengan system ini diharapkan agar semua pihak yang merasa dirugikan akan terpulihkan kembali dan adanya penghargaan dan penghormatan terhadap korban dari suatu tindak pidana.
            Dalam pelaksanaannya konsep ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada korban untuk menyampaikan tentang kerugian yang dideritanya, baik kerugian materiil maupun moril sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukan pelaku padanya. Konsep ini juga memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menyampaikan sebab-sebab dan alasan kenapa dirinya melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban dan masyarakat.
            Konsep ini dilaksanakan secara langsung terhadap tindak pidana yang terjadi sebelum pelaku masuk system peradilan pidana dan kasus yang masuk system peradilan pidana. Konsep Restorative justice ini di beberapa Negara secara terus-menerus berproses secara berlanjut dalam usaha melakukan peningkatan dan perkembangan kearah yang lebih baik seperti halnya mengembangkan proses yang berlandaskan prinsip dan penerapan konsep dalam praktiknya.

4.Pelaksanaan Konsep Restorative Justice di Indonesia
            Di Indonesia pengembangan konsep Restorative Justice merupakan suatu yang baru, yang mana kota Bandung menjadi salah satu tempat pelaksanaan Pilot Project UNICEF tentang pengembangan konsep Restorative Justice pada tahun 2004.
            Restorative justice adalah suatu proses pengalihan dari proses pidana formal ke informal sbagai alternative terbaik penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum dngan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak dimasa yang akan datang.
            Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam pasal 16 ayat 3 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu bahwa “Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hokum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Sejalan dengan tujan Restorative justice, Pengadilan Negeri Bandung telah membuat ruang sidang dan ruang tunggu khusus anak dan memisahkan terdakwa anak yang ditahan dari terdakwa dewasa sejak saat bersangkutan tiba dari rutan.
Terdakwa anak yang menunggu waktu persidangan ditempatkan di ruang tunggu khusu dengan didampingi oleh orang tua atau keluarganya dan atau petugas Bapas dan di ruangan itu di sediakan pula buku-buku bacaan anak-anak dan remaja yang merupakan sumbangan dari UNICEF.
Ruang sidang anak itu sendiri, tempat bagi terdakwa anak,sengaja tidak diberi tulisan “terdakwa” dengan pertimbangan psikologis si anak agar merasa aman, bebas dan tidak merasa dipermalukan selama menjalankan persidangan.
Selanjutnya dalam hal penuntutan pidana dari jaksa penuntut umum, jarang sekali ditemukan adanya tuntutan pidana melankan tindakan agar  apabila terdakwa anak tersebut terbukti bersalah, dijauhi tindakan  dikembalikan kepada orang tua atau setidak-tidaknya sesuai/pas dengan lamanya terdakwa anak tersebut berada dalam tahanan sementara.
Upaya melaksanakan perintah UU agar penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir  maka putusan yang terbaik berupa tindakan untuk mengembalikan terdakwa anak kepada orangtuanya untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya.
Adanya upaya pelaksanaan restorative justice tidak berarti semua perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa putusan dikembalikan kepada orangtua,karena hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu antara lain:
1.    Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan
2.    Anak tersebut masih sekolah
3.    Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana yang menghilangkan nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang mengganggumerugikan kepentingan umum
4.    Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut secara lebih baik.
Hambatan pelaksanaan restorative justice di Bandung. Pertama aturan yang berlaku dalam sistem hokum yang ada mewajibkan polisi dan jaksa penuntut umum untuk menindaklanjuti perkara-perkara yang masuk.
Hambatan kedua yang dihadapi oleh penuntut umum, bahwa berdasarkan aturan yang berlaku jaksa penuntut umum wajib mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya dan atasan itulah  yang berwenang memutuskan pidana atau tindakan apa yang akan dituntut kepada terdakwa, sehingga dalam melaksanakan konsep restorative justice tersebut harus ada pemahaman secara menyeluruh bagi semua komponen pelaksana peradilan anak.
Karakteristik pelaksanaan restorative justice di Bandung.
1.    Pelaksanaan restorative justice di Bandung ditujukan untuk membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya.
2.    Memberikan kesempatan kedua kepada pelanggar untuk membuktikan kemampuan dan kualitasnya dalam bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, disamping itu untuk mengatasi rasa bersalah secara konstruktif.
3.    Penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan melibatkan korban atau para korban, orang tua dan keluarga pelaku, orang tua dan keluarga korban, dan teman sebaya.
4.    Penyelesaian dengan konsep resrorative justice ditujukan untuk menciptakan forum untuk bekerja sama untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
5.    Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial.
Berdasarkan karakteristik restorative justice tersebut diatas maka ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat terlaksananya restorative justice, yaitu:
1.    Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku
2.    Harus ada persetujuan dai pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku
3.    Persetujuan dari kepolisian atau dari kejaksaan sebagai institusi yang memiliki kewenangan diskresionerdukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana anak
Adapun kasus yang bisa dilaksanakan penyelesaiannya dengan konsep restorative justice, adalah:
1.    Kasus tersebut  bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggar lalu lintas jalan
2.    Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilang nyawa manusia, luka berat, atau cacat seumur hidup
3.    Kenakalan anak tersebut bukan kejahatan terhadap kesusilaanyang serius yang menyangkut dengan kehormatan.
Kasus yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah kasus yang telah masuk dalam sistem peradilan pidana atau kasus yang belum masuk dam sistem peradilan pidana (belum bersentuhan dengan sistem peradilan pidana)
Metode penyelesaian yang dilakukan dalam restorative justice di Bandung adalah sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat, dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku) dan tujuan hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
Pihak-pihak yang dilibatkan dalam restorative justice (musyawarah pemulihan) di Bandung adalah:
1.    Korban dan keluaraga korban. Keterlibatan korban keluarga korban dalam penyelesaian secara restorative justice tersebut penting sekali. Hal ini dikarenakan selama ini dalam sistem peradilan pidana, korban kurang dilibatkan padahal korban adalah pihak yang terlibat langsung dalam konflik (pihak yang menderita kerugian)
2.    Pelaku dan keluarganya. Pelaku adalah pihak yang mutlak dilibatkan, karena keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan lebih disebabkan karena usia pelaku yang belum dewasa  (anak).
3.    Wakil masyarakat. Wakil masyarakat ini penting untuk mewakili kepentingan dari lingkungan di mana peristiwa tersebut terjadi.
Adapun tempat pelaksanaan musyawarah pemulihan yaitu pada tingkat rukun warga (RW) di lingkungan  di mana kasus kenakalan anak tersebut terjadi (tempat kejadian perkara/TKP) atau di sekolah, khusunya dalam hal kenakalan yang terjadi di sekolah, baik pelaku maupun korban berasal dari sekolah yang sama.
Unsur pendukung pelaksanaan restorative justice membutuhkan keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk berperan pada tahap awal sebagai inisiator mendorong penggunaan musyawarah pemulihan sebagai alternative penyelesaian. Pada tahap awal LSM juga dibutuhkan sebagai konsultan dan fasilitator dalam tahap pelaksanaan musyawarah pemulihan.
Syarat-syarat Keputusan Hasil Musyawarah Restorative Justice yang diambil adalah:
1.    Dapat dilaksanakan oleh pihak sendiri tanpa memerlukan bantuan instansi penegak hokum dalam sistem peradilan pidana
2.    Putusan tidak bersifat punitf, tetapi lebih merupakann solusi dengan memperhatikan kepentingan terbaik dari anak, korban dan masyarakat seperti restitusi (ganti rugi) atau community service order berupa kewajiba kerja sosial
3.    Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang terlibat dan dapat dilaksanakan
4.    Pelaksanaan putusan dilakukan sendiri oleh masyarakat dan atau dengan bantuan LSM sebagai fasilitator.
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum harus dilakukan secara khusus. Pasal 64 ayat 3, dilaksanakan melalui:
1.    Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga
2.    Upaya perlindungan dan pemberitaan adentitas melalui media dan untuk menghindari labelisasi
3.    Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial
4.    Pemberian jalur untuk mendapatkan informasi mengenaiperkembangan perkara.

Peranan Mahkamah Agung dalam pelaksanaan diversi dan restorative justice, yaitu:
1.    Mahkamah agung adalah pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan mliter, dan peradilan tata usaha negara
2.    Pasal 15 ayat 1 UU No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 yang diatur dengan UU. Karena itu, pengadilan anak yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara, berada di lingkungan peradilan umum
3.    Pengadilan anak sebagai pengadilan khusus bagi anak nakal yang berusia sekurang-kurangnya 8  tahun dan belum genap 18 tahun serta belum pernah kawin, melakukan tindakan pidana atau melakukan tindakan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan yang hidap dan berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan
4.    Penanganan anak yang berhadapan dengan hokum harus dilakukan secara khusus. Pasal 64 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Mahkamah Agung dalam berbagai penataan/pelatihan selalu mengingatkan para hakim agar lebih mengutamakan tindakan sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 24 UU No. 3 tahun1997 yang dijatuhkan kepada anak nakal,. Namun permasalahan utamanya orang tua ataupun wali anak tersebut tidak mampu memberikan pendidikan dan pembinaan lebih baik oleh karena ketidakmampuan secara ekonomim dan kurangnya pengetahuan untuk berbuat yang terbaik bagi anak.
D. Beberapa Contoh kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak
1. Kasus Pencurian Sandal Yang Dilakukan Oleh AAL
            Anjar Andreas Lagaronda atau biasa disebut dengan AAL, remaja 15 tahun yang merupakan siswa kelas 1 SMK 3 di Palu yang dihadapkan oleh dakwaan pencurian sandal jepit milik oknum polisi, Briptu Anwar Rusdi yang terjadi pada bulan November 2011 yang lalu. Hanya karena masalah sandal jepit yang sederhana dan sebenarnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, AAL harus menerima konsekuensi yang membawanya ke meja hijau.         
            Pada saat interogasi pun, AAL mengaku mendapat penganiayaan yaitu berupa pemukulan yang dilakukan Briptu Anwar Rusdi dan temannya Briptu Simson J. Dalam kasus AAL, tidak seharusnya seorang aparat menginterogasi dengan kekerasan karena seharusnya mereka lebih tahu prosedur interogasi apalagi terhadap anak di bawah umur. Kontroversi kasus ini menyebabkan banyak protes dan kritikan tajam dilontarkan oleh segenap masyarakat Indonesia yang ditujukan kepada lembaga – lembaga yang memproses perkara tersebut.
Setidaknya terdapat dua versi kronologis kasus pencurian sandal jepit oleh anak di bawah umur tersebut. Versi yang diceritakan oleh tersangka Aal (15 tahun) seorang pelajar SMK 3 Palu Sulawesi Tengah, dan versi yang diceritakan oleh Mabes Polri.
Berikut versi yang diceritakan oleh Aal.  Kasus ini berawal dan terjadi di Sulawesi Tengah pada November 2010 saat itu Aal dan teman-temannya menemukan sepasang sandal di Jalan Zebra di luar pagar kos Briptu Rusdi Harahap seorang anggota Polri.  Karena mengira sandal tersebut tak bertuan maka Aal membawanya pulang.  Kemudian pada Mei 2011, Briptu Rusdi memanggil Aal dan teman – temannya yang saat itu sedang melintas di depan kos anggota Polri tersebut.
Dengan membentak dan berkata kasar Briptu Rusdi menanyakan prihal sandal yang sudah diambil oleh Aal.  Kemudian Aal berkilah bahwa dia tidak tahu kalau sandal itu ada yang punya karena pada saat diambil sandal tersebut berada di wilayah umum (berada di jalan dan jauh di luar kos).  Mendengar alasan itu Briptu Rusdi melayangkan pukulan kepada Aal dan teman – temannya. Tidak hanya itu, Aal dan teman – temannya juga disekap di kos serta dipukuli oleh Briptu Rusdi dan memaksa Aal dan teman – temannya untuk mengakui pencurian – pencurian sandal sebelumnya yang  telah dituturkan oleh Briptu Rusdi bahwa sudah terjadi sebanyak 3 (tiga) kali. Penyekapan dan penganiayaan tersebut berlangsung dari pukul 20.00 WITA hingga lewat pukul 22.30 WITA (yaitu pada saat Aal dipanggil pulang oleh orang tuanya).
Setelah peristiwa tersebut Aal dipanggil ke Polda dan di BAP setelah itu divisum.  Setelah divisum Aal dijanjikan akan ditangani dan diproses perihal pemukulan dan penganiayaan yang terjadi padanya.  Tetapi kemudian proses penanganan perkara pemukulan dan penganiayaan tersebut tidak diangkat dan malahan Aal dimeja-hijaukan atas tuduhan pencurian sandal dan terkena pasal 362 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa mengambil barang secara menyeluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Adapun versi yang didapat dari Mabes Polri adalah hampir serupa dengan versi yang diceritakan oleh tersangka.  Perbedaannya adalah :
  • Adanya perbedaan usia terlapor yaitu disebutkan oleh versi Mabes bahwa terlapor berusia 17 tahun sedangkan menurut versi yang diceritakan pihak tersangka, terlapor pada saat itu masih berusia 15 tahun;
  • Pada versi Mabes tidak disinggung telah terjadi perkara pemukulan dan penganiayaan terhadap terlapor yang dilakukan oleh pihak korban (Briptu Rusdi);
  • Pada versi Mabes yang bersikeras mengajukan kasus tersebut ke meja hijau adalah pihak terlapor dan pengacaranya.  Pada 28 Mei 2011 pihak terlapor melaporkan korban (Briptu Rusdi) ke Propam.  Kemudian atas hal tersebut pihak korban (Briptu Rusdi) membuat laporan.  Pihak terlapor dan pengacaranya kemudian meminta agar kasus tersebut dibawa ke pengadilan sehingga ditetapkan JPU dan masuk ke pengadilan.
Proses kasus pencurian sandal jepit tersebut tidak bisa dikatakan suatu proses peradilan yang layak dan adil karena pelaku adalah bukan orang yang memiliki profesi sebagai pencuri dan usianya masih dibawah umur. Ketentuan pemrosesan hukum bagi anak yang dibawah umur diatur :
  • Dalam KUHP pasal 45 disebutkan dalam hal penuntutan pidana terhadap anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun maka hakim dapat memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, atau pemerintah, tanpa pidana apapun. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak bahwa usia 18 tahun baru bisa di proses tuntutan pidananya, ini tentang ketentuan normanya;
  • Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 menyebutkan dan menetapkan bahwa:
1.    Anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” melalui proses peradilan dan dapat dibenarkan dan/atau dicek kebenarannya oleh siapapun dan dibuktikan di muka hukum;
2.    Batasan usia minimal pertanggung-jawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun agar tidak bertentangan dengan UUD 1945;
3.    Batas usia minimal tersebut berimplikasi hukum terhadap batas umur minimum bagi “Anak Nakal” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
  • Selain itu, Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak telah menyebutkan alternatif-alternatif pidana bagi “Anak Nakal” selain pidana penjara yaitu pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Kemudian, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak merupakan penegasan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak dan keharusan aparat penegak hukum untuk tidak menempatkan “Anak Nakal” yang dinyatakan bersalah di Lembaga Pemasyarakatan bagi orang dewasa. Dengan demikian mempertegas keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai wadah pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja bagi “Anak Nakal” yang diputus menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki sehingga terciptalah kehidupan yang harmonis dan stabil.  Proses hukum haruslah mengedepankan aspek kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana anak.  Hakim, jaksa, dan polisi diharapkan lebih bisa menggunakan hati nurani ketimbang hanya berdasarkan pada landasan hukum formil semata.
Kita sebagai warga negara Indonesia bertanggung jawab dalam perlindungan hak-hak setiap anak karena anak adalah generasi penerus bangsa Indonesia.  Hak-hak tersebut termasuk hak memperoleh perlindungan secara fisik, mental atau sosial  dan juga hak anak ketika sedang berhadapan dengan hukum.  Sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, serta Keputusan Bersama 4 Kementerian, Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa penahanan/pemenjaraan terhadap anak adalah upaya terakhir, dengan mengedepankan pendekatan Keadilan Restoratif sebagai landasan penyelesaian pidana bagi anak yang berhadapan dengan hukum.



2.Kasus Sengatan Lebah Yang Dilakukan Oleh DYD
            Kenakalan anak-anak seperti menganggu teman sebaya, melempar mangga tetangga atau menakut-nakuti temannya. Semua itu merupakan kenakalan anak-anak yang lumrah dan wajar.
Semua orang bisa membedakan antara kenakalan anak-anak dengan kejahatan anak-anak. Seorang anak yang sengaja melukai temannya dengan cara menusuk dengan senjata tajam, mencelakakan orang lain hingga luka -luka, bahkan ada  anak yang sengaja membunuh teman sebayanya. Semua itu bukan dikatagorikan sebagai kenakalan tetapi sudah merupakan kejahatan atau kriminal.
Di Surabaya  DYD seorang anak  usia 9 tahun harus duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri karena didakwa melakukan perbuatan kriminal terhadap DNS temannya satu sekolah yang juga berusia 9 tahun. Persoalannya bermula dari kenakalan DYD menakut-nakuti  DNS dengan mengacung-acungkan lebah madu. Cilakanya lebah madu itu menyengat pipi DNS yang menyebabkan rasa sakit dan bekas sengatan. Pihak sekolah sudah mendamaikan kasus tersebut untuk tidak diperpanjang oleh keluarga sebab perbuatan DYD adalah berupa kenakalan. Tetapi entah bagaimana  kisahnya, sampai ulah DYD menjadi kasus  berkelanjuta yang  diusut Polisi, dan ia ditetapkan sebagai tersangka, lalu dilimpahkan ke Kejaksaan. Seperti halnya Penyidik Polisi, Kejaksaan juga memproses kasus tersebut hingga  DYD ditetapkan sebagai terdakwa didalam sidang Pengadilan Negeri Surabaya.
Kendati banyak kalangan yang mendesak agar perkara itu tidak dilanjutkan ke Pengadilan Negeri sebab hanya perkara kenakalan anak-anak. Tetapi Kejaksaan Negeri Surabaya tetap bersikukuh melanjutkan perkara itu. Jaksa mengatakan pengajuan DYD tidak perlu dihawatirkan sebab semua sudah diatur Undang-Undang. Sebenarnya Hakim Pengadilan Negeri Surabaya melihat kasus DYD tidak pantas diajukan ke Pengadlan. Sebab kasus itu lebih tepat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, Pengadilan masih terus menyidangkannya karena menurut Ketua Majelis Hakim Sutriadi Yahya mengatakan Pengadilan hanya bisa menerima pelimpahan perkara tetapi tidak bisa menghentikan persidangan, walau perkara DYD tidak layak untuk disidangkan.
Hakim menjatuhkan vonis DYD bersalah, tetapi dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orang tuanya. Bebasnya DYD dari hukuman tidak menyebabkan Komnas Perlindungan Anak bernafas lega. Sebab walaupun ia dibebaskan tetap saja pengaruh persidangan membekas pada kejiwaan anak itu. Bahkan Komnas Perlindungan anak hawatir DYD akan menjadi anak yang rendah diri, walaupun di persidangan ia terlihat ceria. Mungkin para penegak hukum seperti polisi dan Jaksa perlu menelaah apa yang diucapkan Hakim Sutriadi Yahya dan Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi bahwa perkara DYD tidak pantas masuk ke ranah hukum, sebab tidak ada unsur kriminal didalamnya.






BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
1. Seorang anak tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya karena lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol dalam menilai tindakan yang dilakukannya.
2. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak berurusan dengan aparat penegak hukum antara lain kurangnya perhatian keluarga, faktor pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi dibidang informasi dan komunikasi serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua.
3. Hukuman yang terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukanlah hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi. Ganti rugi yang sesuai untuk anak adalah kerja proyek.
4. Pelaksanaan konsep Diversi dan Restorative Justice memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sesuai dengan prinsip utama dari Diversi dan Restorative Justice yang mempunyai kesamaan yaitu menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan anak pelaku untuk menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.
5. Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki sehingga terciptalah kehidupan yang harmonis dan stabil.  Proses hukum haruslah mengedepankan aspek kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana anak.  Hakim, jaksa, dan polisi diharapkan lebih bisa menggunakan hati nurani ketimbang hanya berdasarkan pada landasan hukum formil semata.
B.Saran
1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, hal ini karena masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam melakukan sesuatu tidak /kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang di ambilnya. Oleh karena itu orang tua mempunyai kewajiban untuk membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak.
2. Anak yang telah melakukan tindakan pidana harus segera diperbaiki melalui tindakan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan masa depan yang baik untuk anak. Tindakan yang diberikan kepada anak adalah tindakan yang bersifat mendidik, guna memulihkan kembali kondisi anak tersebut menjadi anak yang baik, bukan dengan hukuman pembalasan terhadap mereka setelah menjalani peradilan.





Daftar Pustaka
Dr.Marlina SH.M.HUM.2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.



           



1 komentar: