Selasa, 12 November 2013

syariat islam di aceh



A. Pengertian syariat islam
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul ( Muhammad Yusuf Musa,1998:131).
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau hokum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-qur’an maupun hadis dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.
B. Sejarah penerapan syariat islam di Aceh.
1.         masa kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
( http//www.mahkamahsyariahaceh.go.id)
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya adalah:
a.      datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu sangat besar.
b.     Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
c.      Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul adil).
d.      Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
1.         Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. ]  30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
1.         Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
1.      Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2.      Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
3.      Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
4.      Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
Lembaga yang terkait penerapan syariat islam.
a.       Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.
b.      Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c.       Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenag member tahu dan mengingatkan anggota –anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
Tugas wilayatul hisbah.
Tugas yang harus di jalankan wilayatul hisbah antara lain:
1. Memperkenalkan dan mensosialisasi qanun dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan syariat islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan aturan akhlak dan moral yang baik.
2. mengawasi masyarakat agar mereka memahami peraturan yang ada dan berakhlak dengan akhlak yang luhur yang dituntun islam.
3. melakukan pembinaan agar para pelaku perbuatan pidana tidak melakukan perbuatan maksiat (kejahatan) lanjut.
Wilayatul hisbah diangkat secara khusus oleh gubernur pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten atau kota oleh bupati atau walikota sedangkat tingkat gampong di angkat oleh petugas tuha peut (tetua gampong) setempat. Jika dijabarkan tahapan tugas wilayatul hisbah dan kaitannya dengan penegak hukum syariah lain adalah:
a.       Tahap sosialisasi akan berhubungan dengan pimpinan gampong.
b.      Tahap penyidikan bertugas sebagai PPNS (petugas penyidik negeri sipil) dan akan berhubungan dengan polisi.
c.       Tahap penjatuhan hukuman bertugas sebagai petugas pencambuk dan akan berhubungan dengan kejaksaan.
d.      Mahkamah syariah.
Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadialan agama yang sudah di hapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam.
Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).
Sistem penyusunan hukum syariat islam di NAD
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Beberapa qanun yang telah disahkan
(agustus 2005)
Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan bahkan sudah ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini, diantaranya :
1.      Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat islam.
2.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang mem[roduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3.      Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4.      Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5.      Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
Hukuman cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a.       Terhukum dalam kondisi sehat.
b.      Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c.       Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d.      Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e.       Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f.        Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
g.       Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.
(al yasa abu bakar, 2006)
Kritik terhadap penerapan syariat islam
Penerapan syariat islam hamper jalan 10 tahun. Perlahan-lahan hukum positif yang dituangkan dalam KUHP digantikan dengan hukum Allah yang terangkum dalam Al-Qur’an dan Hadish dan di tuangkan dinas syariat islam ke dalam qanun. Pro dan kontra dari berbagai pihak terus saja mengalir. Mereka berusaha mengkritisi, mengevaluasi dan mengajukan ide baru untuk perbaikan system penerapan syariat islam ke depan.
Menurut Teuku Reiza Yuanda, penerapan syariat islam lebih berkorelasi dengan aspek politik, yaitu sebagai upaya pemerintah menyelesaikan konflik Aceh. Syariat islam cenderung di praktekkan dengan cara-cara kekerasan oleh masyarakat dan pihak pelaksana syariat islam sendiri tidak berdaya mencegah aksi kekerasan masyarakat tersebut. Hala yang sering muncul kepermukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, khamar yang direspon masyarakat melalui sweeping di kafe dan jalan dengan penekana pada busana wanita. Pelaksanaan syariat telah terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan lainnya, apakah korupsi dan manipulasi keuangan Negara dibenarkan dalam islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggar syariat islam tanpa proses hukum yang adil dibenarkan dalam islam? Sebagian besar masyarakat Aceh membenci pelanggar syariat islam padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajian sebagai seorang muslim.
Sedangkan H.Taqwaddin mengkritisi hukum rajam bagi pelaku zina dan di potong tangan untuk mencuri yang sedang hangat diwacanakan di Aceh sekarang.
1.      Negara tidak layak merajam orang yang berzina jka Negara tidak mampu menangkal  media yang menjurus kepada hal-hal yang berbau porno dan memicu zina. Negara harus menjalankan fungsinya dengan baik.
2.      Fungsi dan peranan hukum sering disamarkan sehingga seolah-olah masyarakat kalangan bawah tidak berlaku bagi kalangan atas.
Pemberlakuan syariat islam secara kaffah, yaitu keikutsertaan pemerintah untuk menegakkan agama islam secara semourna. Segala bidang baik hukum, kesenian, pendidikan, system pemerintahan akan akan dijalankan sesuai tata aturan yang dituangkan dalamhukum syariat islam. Membangkitkan semangat keagamaan dan memberikan ganjaran bagi merekan yang tidak menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai tuntutan hidup.
Pada periode ini dibuatlah aturan dalam bentuk qanun sebagai rujukan hakim untuk mengadili pelanggar syaariah. Pemerintah juga membentuk polisi khusus (wilayatul hisbah) untuk mengawasi dan mensosialisasikan jalannya qanun tersebut. Dinas syariat islam dibentuk untuk mengkoordinir terlaksananya syariat islam menjadi satu kesatuan. Peranan ulama sebagai penuntun dalam menelaah agama islam juga tidak di abaikan. Maka di  bentuklah MPU ( majelis permusyawaratan ulama ). Sebagai pemberi masukan, saran dan kritik.
Beberapa kemajuan yang dicapai sejak dari pertama diberlakukan diantaranya, kedudukan sekolah umum dengan sekolah madrasah menjadi setara. Kesempatan mengajar pelajaran agama di sekolah oleh guru dayah. Tgk imum gampong, guru pengajian memperoleh honorarium dari pemerintah. Pembangunan balai pengajian dan kegiatan penagjian di danai oleh pemerintah.
Pemerintah ingin memperbaiki kesalahan orde lama dan orde baru saat syariat islam secara kaffah bukan tuntutan masyarakat Aceh umumnya. Hasil penelitian oleh bustami ( pasca sarjana UGM, 2004 ) memperlihatkan bahwa kalangan ulama dan aktifis mahasiswa memang melakukan tuntutan agar syariat diberlakukan di Aceh, sedangkan aktivis LSM, cendekiawan, dan masyarakat kalangan bawah, tidak pernah melakukannya.
Jadi dalam penerapan syariat islam ini ada dua serangkai kuat dalam masyarakat. ulama sebagai pemimpin dan pengarah hidup dalam masyarakat. mahasiswa meski sebagai intelektual muda, pemerintahan setangguh rezim Soeharto bisa ditumbangkan, artinya peranan mahasiswa dalam masyarakat sangat besar.
Jika dikaitkan dengan pendapat Teuku Reiza yuanda yang telah diuraikan sebelumnya, penerapan syariat islam lebih berkorelasi dengan aspek politik. Maka kekuatan ulama dan mahasiswa digunakan pemerintah  untuk mempengaruhi masyarakat agar berpersepsi syariat islamlah juru kunci perdamaian di Aceh karena ulama sebagai orang cerdik dan bijak saja berdiri digaris depan.
Banyak kejanggalan dan kekurangan dari segi penerapan dari hukum syariat. Syariat islam yang paling mengemuka dari tahun 2001-sekarang adalah khalwat, judi, khamar, jilbab wanita, celana panjang bagi wanita. Akhir-akhir ini pun sempat di hebohkan dengan wacana pemberlakuan rajam bagi pelaku zina dan potong tangan bagi pencuri.
Memang minuman keras dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan perbuatan keji lain seperti pembunuhan, zina dan dosa-dosa besar lainnya. Judi dapat membawa kesengsaraan karena sifatnya untung-untungan. Negitu juga dengan pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh wanita yang merupakan aurat bagi mereka dan khalawat akan mendorong terjadinya pemerkosaan, perzinaan, pelecehan terhadap kehormatan wanita. Lebih parah lagi zina akan menghasilkan keturunan yang tidak diridhai oleh Allah, terlunta-luntanya anak-anak hasil zina,
Namun mengapa sampai sekarang tidak ada seorang pun pejabat pernah dihukum yang telah ketahuan melakukan KKN terus merajalela. Untuk Pemkab Aceh Utara sendiri 22 milyar uang rakyat lenyap, namun tidak ada sorotan dalam bidang syariat islam.
Lading ganja, pembunuhan, perampokan terus saja merajalela namun tidak pernah ada penanganan yang serius dari pihak berwenang. Media massa yang tidak islami terus saja bermunculan dan merupakan pencetak  oplah terbanyak di Aceh. Seperti Pro haba, rakyat Aveh, Metro Aceh. Koran ini menonjolkan berita seks, kriminalitas tanpa menghormati identitas korban suatu kejahatan. Dalam panduan komunikasi massa umum saja sudah ditegaskan tidak boleh memuat suatu berita dengan mengabaikan hak-hak orang yang diberitakan apalagi dalam komunikasi islami.
Hal ini selaras dengan pendapat H.Taqwaddin yang mengatakan pemerintahan tidak layak merajam orang yang berzina jika Negara tidak mampu menangkal mediayang menjurus kepada hal-hal yang berbau porno. Percuma saja pelarangan zina jika hal-hal yang memicu terjadinya zina terus menerpa umat islam.
Dari segi pakaian mengapa selalu celana panjang wanita yang menjadi sorotan dan rok menjadi solusinya? Jika rok juga dapat menonjolkan aurat intinya kan sama saja. Mengapa kaum lelaki yang memakai celana pendek tidak pernah dipermasalahkan? Padahal dia dalam islam jelas diatur aurat wanita adalah seluruh tubuh dan laki-laki dari pusar hingga lutut. Mengapa pula dalam VCD karya seni anak Aceh modelnya tidak memakai pakaian yang islami dan ceritanya disajikan tidak islami. Mengapa hal itu tidak mendapat perhatian dari dinas syariat islam atau pihak-pihak terkait lainnya. Ada apa dibalik semua itu???
Mungkin yang perlu dilakukan agar islam kembali jaya di Aceh sepeti pada masa Rasulullah adalah mencoba bangkit dari hal-hal kecil tapi efeknya sangat besar. Seperti disiplin waktu, menjaga kebersihan, ketertiban di jalan raya, penghormatan terhadap milik dan karya intelektual orang lain, kesopanan, rasa cinta kepada Allah dan Rasul.
Sosialisasi syariat islam perlu dilakukan dengan cara modern. Di bidang pakaian harus digiatkan seni merancang busana yang islami karena ada kecenderungan masyarakat kita berbusana sesuai trend. Maka kita harus menciptakan trend yang islami.
Dapat juga dilakukan melalui pemanfaatan media milik pemerintah seperti TVRI dan RRI. Produktivitas TVRI yang kurang berkembang perlu disokong dengan acara-acara yang berbasiskan islam. Media cetak islami perlu digiatkan perkembangannya. Jadi intinya adalah kita jangan hanya pandai melarang tanpa memberikan solusi, tapi solusi yang tepat akan meminimalisir hal-hal yang menguras keimanan kepada Allah SWT.
Kesimpulan
Syariat islam merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan hadish bagi umat islam tidak hanya segi ibadah namun juga bidang sosial, ekonomi, budaya agar tercipta kehidupan teratur, aman sentosa dunia dan akhirat.
Syariat islam sudah di terapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa. Pengadialn di bentuk di tingkat daerah dan di teruskan ke pusat jika terdakwa mengajukan banding. Beberapa hukum yang di laksanakan di antaranya rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan sengaja.
Masa orde lama dan orde baru tidak ada pelaksanaan syariat resmi dari pemerintah. Syariat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di tingkat gampong. Pemerintah memahami betul sikap orang Aceh yang menjunjung tinggi syariat islam sehingga digunakan sebagai senjata politik untuk menarik simpati rakyat dan berhasil.
Setelah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001, pemerintah mencanangkan syariat islam secara kaffah khusus wilayah Aceh. Syariat islam secara kaffah di artikan pelaksanaan hukum syariah secara sempurna oleh pemrintah daerah. Beberapa lembaga yang di bentuk untuk menjalankannya yaitu, dinas syariat islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan hukum syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.

PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAH DI ACEH (Kajian Yuridis Terhadap Pro kontra Antara Eksekutif dan Legeslatif)

PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAH DI ACEH (Kajian Yuridis Terhadap Pro kontra Antara Eksekutif dan Legeslatif) 1.1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Aceh dalam sepanjang sejarah dikenal sebagai masyarakat yang sangat dekat dan bahkan sangat fanatik terhadap Islam, sehingga masyarakat Aceh dalam kehidupannya selalu berbaur dengan ajaran Islam, sulit bagi kita memisahkan antara adat istiadat dengan ajaran Islam dikalangan orang Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan dalam pepatah Aceh, “hukum ngon adat lage zat ngon sifeut ( hubungan syari’at dengan adat adalah ibarat hubungan suatu zat (benda) degan sifatnya, yaitu melekat dan tidak dapat dipisahkan)”. Dalam pemahaman masyarakat Aceh, Syari’at Islam bukan hanya dalam aspek hukum dan peradilan saja, akan tetapi mencakup semua aspek kehidupan seperti Pendidikan, Ekonomi dan juga Sosial Kemasyarakatan. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Aceh telah mengajukan permohonan dan bahkan menuntut kepada pemerintah pusat agar diberikan izin pemberlakuan Syari’at Islam. Tuntutan ini akhirnya mendapat persetujuan juga dari pemerintah pusat dengan mengesahkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah istimewa Aceh. Kemudian pada tahun 2001 pemerintah pusat kembali mengesahkan Undang-undang No. 18 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebgai Provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Dalam hal ini Aceh diberikan Peradilan Syari’at Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syar’iyah, yang kewenangannya telah diatur dengan Qanun. Pada Oktober 2002, Qanun yang mengatur kewenangan Mahkamah Syar’iyah tersebut dan pada Maret 2003 Mahkamah Syar’iyah di Aceh diresmikan oleh Menteri Kehakiman dan ketuanya dilantik oleh Mahkamah Agung. Setelah ini, pada tingkat Nasional disahkan pula Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 15 menyatakan bahwa peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah peradilan khusus dalam lingkungan peradilan Agama dan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Melalui pembentukan Daerah Otonomi Khusus yang diatur oleh Undang-undang, Aceh sebagai Negara kesatuan Republik Indonesia dapat menerapkan syari’at Islam diwilayah hukumnya. 1.2. PEMBAHASAN A. Pengertian Qanun Jinayah Qanun jinayah terdiri dari dua kata, yaitu qanun dan jinayah, kata qanun berasal dari bahasa Arab yaitu qanna, yang bermakna membuat hukum dan kemudian qanun dapat diartikan sebagai hukum, peraturan atau Undang-undang. Sedangkan menurut kamus bahasa Arab-Indonesia, kata (qanun) berasal dari kata (qanna) yang berarti kaidah, Undang-undang atau aturan. Adapun jinayah secara etimologis berarti perbuatan terlarang. Menurut Ahmad wardi jinayah secara bahasa adalah: اسم لما يجنه المرء من شر وما اكتسبه “Nama bagi perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan”. Sedangkan pengertian jinayah menurut istilah fuqaha, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah: فالجناية اسم لفعل محرم شرعا، سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غير ذالك “Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainnya”. Menurut Sayid Sabiq pengertian jinayah adalah: “yang dimaksud jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang dan perbuatan dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda. Menurut Amir Syarifddin pengertian Jinayah atau lengkapnya adalah fiqh jinayah merupakan satu bagian dari pembahasan fiqh. Kalau fiqh adalah ketentuan yang bersifat wahyu Allah dan amaliyah yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah adalah secara khusus mengatur tentang pencegahan tidak kejahatan yang dilakukan oleh manusia dan sanksi hukuman yang dikenakan dengan kejahatan itu adalah mendatangkan kemaslahahtan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan mamfaat bagi manusia, maupun menghindari kerusakan dan kemudharatan dari manusia. Segala bentuk tindakan perusakan terhadap orang lain atau mahluk lain dilarang oleh agama dan tindakan tersebut dinamakan tindak kejahatan atau jinayah. Semua bentuk tindakan yang dilarang oleh Allah dan diancam pelakunya dengan hukuman tertentu itu secara khusus disebut jinayah. Menurut Sudarsono istilah fiqh jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang melakukan wajib mendapat hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain disebutkan bahwa jinayah itu perbuatan dosa besar atau kejahatan (kriminal/pidana) seperti membunuh, melukai seseorang, berzina dan menuduh orang baik berzina. B. Proses Pembentukan Qanun Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak berupa peraturan yang bersifat tertulis, pada umumnya didasarkan pada dua hal, pertama, pembentukannya diperintahkan oleh Undang-undang, kedua, pembentukannya dianggap perlu kerena kebutuhan hukum. Ketentuan mengenai prosudur pembentukan Undang-undang telah dituangkan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Undang-undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat diwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelanjaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka pada tingkat pusat pemerintah telah mengesahkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan, demi kian juga pada tingkat daerah, seperti halnya di Aceh telah disahkan qanun No. 3 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan qanun. C. Lembaga Pembentuk Qanun Pemahaman tentang siapa sebenarnya lembaga pembentuk Undang-undang di Indonesia masih seringkali menimbulkan perdebatan. Sebelum Undang-undang Dasar 1945 diamandemen jelas disebutkan bahwa yang memegang kekuasaan membentuk Undang-undang adalah presiden. Hal ini disebutkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal 5 ayat(1) yaitu “ presiden memengang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”. Setelah Undang-undang Dasar diamandemen tugas pembentukan Undang-undang dilimpahkan pada DPR, sebagaimana tertuang dalam pasal 20 (1) yaitu “ DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa DPR adalah lembaga legeslatif, yaitu pembentuk Undang-undang. Sebagian dari kita sering salah mempersepsikan atas hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada presiden untuk mengajukan rancangan Undang-undang sebagaimana yang tertuang dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, menunjukkan kebenaran bahwa presiden adalah lembaga legeslatif dengan arti mempunyai fungsi yang sama dengan DPR. Pada hal keterlibatan presiden dalam pembentukan Undang-undang ialah berfungsi dalam memberikan persetujuan terhadap ranacangan Undang-undang, bukan sebagai pembentuknya. Banyak dari kita salah dalam menafsirkan terhadap pasal 20 (2) UUD 1945 yang menyatakan “ rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan persiden untuk mendapat persetujuan bersama” diartikan presiden mempunyai kewenangan membentuk Undang-undang, pada hal dalam proses pembahasan bersama-sama ini hanya untuk mendapat persetujuan bersama terhadap rancangan Undang-undang, karna kedua lembaga ini mempunyai fungsi masing-masing yang berbeda, tentu saja fungsi presiden dalam hal ini hanya memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-undang yang diajukan kepadanya, akan tetapi tidak boleh juga ditafsirkan bahwa presiden hanya memberikan persetujuan semata, melainkan mempunyai hak menyempurnakan dan bahkan berhak tidak menyetujuinya. Dari tulisan diatas dapat pula dikembangkan dalam proses pembentukan Perda atau Qanun di Aceh juga sama halnya dengan pembentukan Undang-undang. Pembentukan Qanun di Aceh juga merupakan wewenang DPRA sebagai lembaga legeslatif dan Gebenur sebagai lembaga eksekutif untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam pembentukan qanun keterlibatan masyarakat juga sangat diperlukan, dengan memberikan kesempatan mengeluarkan pendapat, ditambah lagi keterlibatan Majelis Permsyawaratan Ulama untuk qanun yang berkenaan dengan syariat Islam. 1.3. PRO KONTRA ANTARA EKSEKUTIF DAN LEGESLATIF Pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis, kembali dipertegas dengan disahkannya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menegaskan bahwa Aceh diberikan kewenangan menjalankan Syari’at Islam secara kaffah yang diatur dalam Qanun. Upaya legislasi dalam pelaksanaan Syari’at Islam ini meliputi bidang Ibadah, Aqidah, syi’ar Islam, bidang Mu’amalah dan Jinayah. Dalam bidang Jinayah, ada beberapa Qanun yang telah diberlakukan di Aceh, seperti Qanun No. 12 tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian) serta Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (meusum). Ketiga Qanun tersebut belum memenuhi kriteria Syari’at, banyak ketentuan lain yang terdapat dalam Al-qur’an belum diatur dalam Qanun seperti halnya kasus rajam bagi penzina Muhsan dan jilid 100 kali bagi penzina Ghairul Muhsan. Atas dasar inilah DPRA periode 2004-2009 yang lalu mencoba membuat terobosan untuk membuat Qanun Jinayah Hudud dan Qanun hukum Acara Jinayah agar dapat menjalankan hukuman rajam tersebut. Dari kegigihan tersebut akhirnya rancangan Qanun tersebut dapat disahkan menjadi hukum positif pada tanggal 15 September 2009 yang lalu, Walaupun akhirnya menimbulkan pro-kontra terutama mengenai jenis hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan dan jilid 100 kali bagi pelaku zina Ghairul Muhsan. Hukum ini dianggap bertentangan dengan HAM dan Nilai-nilai kemanusiaan serta bertentangan dengan UUD 1945, demikian pernyataan ini dilontarkan oleh kalangan yang menolak pemberlakuan Qanun ini, ditambah lagi Gubernur selaku Kepala Pemerintahan di Aceh tidak mau menanda tangani akan Qanun tersebut. Namun dalam hal ini juga ada kalangan yang mendukung pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun Jinayah, mereka ini berargumen bahwa Qanun Jinayah ini tidaklah bertentangan dengan HAM dikarenakan materi hukumnya sudah jelas sebagaima diamanatkan dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang menyatakan bahwa Aceh diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam (hukum Jinayah). Selain itu hukum Jinayah bagi umat Islam merupakan keharusan yang harus dijalankan karena tuntutan dalam ajaran Islam tak ada perdebatan dalam tubuh umat Islam tentang hal ini, tetapi persoalannya akan muncul ketika ada gagasan untuk menegakkan Syari’at Islam di Indonesia. Syari’at Islam manakah yang akan ditegakkan, bagaimana formatnya, cara dan metodologi memperjuangkannya? Lebih dari itu, penegakan Syari’at Islam di Indonesia adalah sebuah dilema dan ironi sekaligus. Dilema, karena banyak orang yang mengaku muslim, justru merasa takut dan cemas ketika Syari’at Islam di tegakkan. Sedangkan ironi, sebagaimana yang tersebar dalam berbagai wacana tentang penegakan Syari’at Islam, banyak pemimpin Islam papan atas, dengan berbagai argumen dan tentunya potensi egonya, justru menolaknya tampa ada landasan yuridis yang kuat. Menjalankan Syari’at Islam merupakan Hak Fundamental dalam kebebasan beragama (freedom of religion), sebagaimana diakui dalam konvensi Internasional, sehingga hukum tersebut dianggap tidak bertentangan dengan HAM. Alasan demi alasan terus dilontarkan oleh semua kalangan yang pro dan yang kontra sehingga pemberlakuan Qanun Jinayah ini tidak dapat dijalankan, pada hal DPRA telah mengesahkan rancangan Qanun tersebut menjadi Qanun. Secara hukum rancangan Qanun tersebut sudah sah dan wajib diundangkan dalam lembaran Daerah, hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 38 (2) . dan juga dalam Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun pasal 37 (2) yang menyatakan bahwa “dalam hal rancangan Qanun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditanda tangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan Qanun disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah menjadi Qanun dan wajib diundangkan. Bila kita melihat sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia jelas mengatakan bahwa Undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berbicara tentang Syari’at Islam dalam kontek UUD 1945, maka dari sejak awal sudah terdapat permulaan yang baik, seperti terlihat dalam Piagam Jakarta yang mendahului pembukaan UUD 1945. Sekalipun terdapat kontroversi dalam pencoretan terhadap tujuh kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut, akan tetapi oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Konstitusi yang ada di Indonesia. 1.4. KESIMPULAN 1. Qanun jinayah adalah aturan perundang-undangan yang mengatur segala bentuk tindakan kejahatan (kriminal/pidana) terhadap orang lain, yang ditetapkan oleh syara’ dan sangat dilarang untuk melakukannya. 2. Qanun Jinayah yang telah disahkan oleh DPRA pada 15 September 2009 yang lalu, akan tetapi tidak dapat diterapkan, ini tentunya menjadi tanda Tanya bagi kita semua, kenapa bisa seperti ini? Ada apa sebenarnya? Dan apa yang menjadi alasan hukum sehingga Qanun tersebut tidak dapat diberlakukan. Sedang alasan untuk sementara pihak yang menolok (Eksekutif) bahwasanya mereka mengatakan bertentangan dengan HAM dan juga pertetangan dengan undang-undang yang lebih tertinggi (maksudnya undang-undang NRI tidak ada yang namanya hukuman bagi belaku pembunuhan potong tangan atau penzina itu dirajam. Akan tetapi pihak pro (Legeslatif) yang menerapkan pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun Jinayah, mereka ini berargumen bahwa Qanun Jinayah ini tidaklah bertentangan dengan HAM dikarenakan materi hukumnya sudah jelas sebagaima diamanatkan dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang menyatakan bahwa Aceh diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam (hukum Jinayah). hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 38 (2) . dan juga dalam Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun pasal 37 (2) yang menyatakan bahwa “dalam hal rancangan Qanun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditanda tangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan Qanun disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah menjadi Qanun dan wajib diundangkan.
http://qanunjinayahdiaceh.blogspot.com/2011/04/pemberlakuan-qanun-jinayah-di-aceh.html
Setiap aspek kehidupan dalam Syariat Islam pelaksanaannya tidak hanya sebatas memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan tujuantujuan tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat (sebab) yang dapat dipahami atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud dan latar belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbudi dan yang hikmahnya tidak masuk akal (ma’qul) yaitu ada rincian rahasia di balik pensyari’ataanya itu (Yusuf Qardhawi 1991). 
         Allah SWT. menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia, telah datang kepadamu  ma’izhah (pengajaran) dari RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57). Namun barang siapa tidak mentaati seluruh ajaran Allah dan mengabaikannya  tidak akan berpengaruh kepada kekuasaan Allah di langit dan dibumi, dan segala maksiat dan kekufuran mereka tidak akan mencelakakan Allah tapi justru segala itu akan kembali si pelakunya. Oleh sebab itu tujuan pelaksanaan Syariat Islam terutama sekali untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Meskipun  Syariat Islam telah berlangsung lebih 10 (sepuluh) tahun, secara fenomenalogy prilaku remaja selama ini tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan dan peningkatan persentase penyimpangan, baik ketika mereka berada di lembaga, bahkan lebih parah ketika mereka berada di luar, seperti beberapa kasus remaja yang  ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), sudah dapat dikatagorikan sebagai  juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi.
               Hal ini terjadi karena nilai-nilai Islam yang diberlakukan di Aceh belum bisa masuk menjadi nilai-nilai struktural formal,  dalam  berbagai kehidupan masyarakat  termasuk program pendidikan, sehingga prilaku-prilaku tersebut  dengan mudah berkembang. seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai  free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), marak terjadi sudah dapat dikatagorikan sebagai  juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9).
Demikian juga halnya dengan Laporan Dinas  Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009, Di Banda Aceh sejak tahun 2006 terdapat 132 kasus (42 kasus berat, 90 kasus ringan), tahun 2007 terdapat 149 kasus (47 kasus berat, 102 kasus ringan), tahun 2008 terdapat 103 kasus (22 kasus berat, 77 kasus ringan), tahun 2009 terdapat 91 kasus (21 kasus  berat, 70 kasus ringan) dan sampai dengan Februari 2010 terdapat 6 kasus khalwat berat. 
         Dari keseluruhan jumlah kasus yang ditemukan, sebagian besar pelakunya adalah remaja, hal ini cukup sejalan dengan studi/survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan  the United Nations Children’s Fund (Unicef), tercatat bahwa dari jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang beroperasi di Aceh, 10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau berstatus mahasiswi. 
          Dari berbagai prilaku menyimpang dan  khalwat yang terjadi selama ini 90% terjadi pada remaja (Dinas Syariat Islam 2009). 70%  lebih berada pada kelompok remaja, yang berumur 15 tahun ke atas, ini  berarti pada umumnya, usia ini mereka sedang duduk di Sekolah  Menengah Atas (SMU) dan perguruan tinggi, di bawah dan di atas usia peruguruan tinggi  kejahatannya menurun.
             Menurut  Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat/mesum  adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang  mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan  muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Bentuk larangan terhadap khalwat adalah segala bentuk kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina, sehingga  qanun ini kemudian ditetapkan dengan tujuan  menegakkan  Syariat Islam dan adat, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan, mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum, serta dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral. 











hal 4 Krisis moral yang dialami Eropa sejak reformasi, dan pemisahan konsekuen antara sekuler dan kekuasaan agama, hanya bisa diselesaikan dengan agama baru: agama itu sciene "
suatu kesatuan sistem kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal kudus.
Hal 8. PERTAMA, awal sistem hukum Islam memiliki dua andalan yang tidak seperti orang-orang dari setiap sistem hukum kontemporer. Pertama, sistem Islam adalah sifatnya bukan tatanan hukum sekuler tapi salah satu emanasi ilahi dan suci. Ini merupakan aplikasi spesifik iman Islam untuk hubungan manusia: islam tidak hanya agama tetapi juga seperangkat aturan yang mengatur perilaku faikhul dan mengatur hubungan mereka dalam masyarakat.
Kedua, The tatanan hukum Islam tidak dipecah menjadi cabang terpisah hukum seperti sistem hukum yang paling kontemporer, yang meliputi hukum publik dan swasta. ... Dalam Islam, oleh karena itu, hanya ada satu Tuhan dan satu hukum. Hukum ini ditujukan kepada semua tanpa distintion atau diskriminasi.
Hal 9. " The Arab syari'at kata mengacu pada hukum dan cara hidup yang ditentukan oleh Allah ( SWT ) untuk hamba-Nya . Syari'at berkaitan dengan ideologi dan keyakinan , perilaku dan tata krama , dan hal-hal sehari-hari yang praktis . " Untuk masing-masing di antara kamu , kami telah diresepkan hukum dan cara yang jelas . (QS. 5:48) Syariah meliputi theQur'an dan sunnah nabi ( saw ) . Al Qur'an adalah firman langsung dari Allah (SWT ) , dan merupakan yang pertama sumber yang paling penting dari bimbingan dan keputusan . Sunnah Nabi ( saw ) adalah sumber kedua bimbingan dan keputusan . Sunnah adalah inspirasi dari Allah ( Swt ) , tetapi disampaikan kepada kita melalui kata-kata dan tindakan Nabi ( saw ) , dan persetujuan dengan tindakan orang lain . Sunnah menegaskan putusan Al-Qur'an , rinci beberapa konsep , hukum dan hal-hal praktis yang secara singkat dinyatakan dalam Al Quran ( misalnya definisi Islam , Imn , dan Ihsan , rincian jenis salat riba ) , dan memberikan beberapa hal rulingsregarding tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Al Quran ( misalnya mengenakan pakaian sutra untuk pria ) .
(The fiqh bahasa Arab berarti pengetahuan, pemahaman dan komprehensif Hal ini mengacu pada keputusan hukum dari para ulama Muslim, berdasarkan pengetahuan mereka tentang syari'at,. Dan dengan demikian merupakan sumber ketiga putusan.)
Hal 10. Kasus yang berbasis pada kebulatan cendekiawan Muslim dan analogi langsung mengikat. Keempat sekolah Sunni pemikiran, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, adalah identik dalam sekitar 75% dari kesimpulan hukum mereka. Varians di sisa dapat ditelusuri ke perbedaan metodologi dalam memahami atau otentikasi bukti tekstual utama. Sudut pandang yang berbeda kadang-kadang ada bahkan di satu sekolah pemikiran.
Hal 11. Al-Quran adalah perkataan Tuhan, Tuhan Dunia ", seperti yang diwahyukan kepada utusan-Nya yang dipilih untuk komunikasi bagi semua orang. Hal itu terungkap dalam fragmen lebih dari 23 tahun (610-632), masing-masing wahyu yang dibuat kapan dan di mana diperlukan, biasanya untuk memecahkan masalah specivic. Al-Quran diberikan sebagai panduan untuk manusia, dalam totalitas, kehidupan spiritual, individual, dan kolektif sementara, dan untuk semua kelas waktu throughtout individu dan masyarakat dan ruang.
murni, sederhana tauhid-kepercayaan keesaan Tuhan, meskipun juga berkaitan dengan semua aspek kehidupan
Lima prinsip dasar yang merupakan dasar dari sistem hukum Islam sebagai awhole, yaitu: Keadilan, kesetaraan, konsultasi demokrasi, menghormati komitmen, dan timbal balik.
Hal 15. Sunnah atau tradisi Nabi, adalah sumber kedua dari tatanan hukum Islam. Perilaku Rasulullah dan perilaku dalam kehidupan misinya, kata-katanya, perbuatan dan reaksi terhadap perbuatan orang lain itu, merupakan sumber aturan yang memiliki kekuatan hukum di bawah sistem Islamc. Aturan yang saling melengkapi dengan yang Quran dalam bahwa mereka hanya menegaskan kembali atau interpretthem atau menentukan bagaimana mereka harus diterapkan.
Hal 21-22. Bagian yang paling sulit dari Hukum Islam bagi kebanyakan orang Barat untuk graps adalah tha tidak ada pemisahan churs dan negara . Agama Islam dan pemerintah adalah satu. Hukum Islam dikendalikan , dikuasai , diatur oleh agama Islam . Teokrasi mengontrol semua urusan publik dan swasta . Pemerintah , hukum , dan agama adalah satu. Ada berbagai tingkat konsep ini di banyak negara , tapi otoritas semua hukum, pemerintah dan sipil bersandar pada itu dan itu merupakan bagian dari agama Islam. Ada hukum perdata di negara-negara Muslim untuk orang-orang Muslim dan non-Muslim . Syariah hanya berlaku untuk Muslim. Kebanyakan orang Amerika dan lain-lain dididik dalam hukum umum memiliki kesulitan besar dengan dari konsep . Konstitusi Amerika Serikat ( Bill of Right) melarang pemerintah dari " membangun sebuah agama . " Mahkamah Agung AS telah menyimpulkan dalam banyak kasus bahwa Pemerintah AS tidak dapat mendukung satu agama atas yang lain . Konsep yang tersirat bagi sebagian besar sarjana hukum AS dan banyak akademisi AS percaya bahwa setiap campuran " gereja dan negara " adalah kejahatan yang melekat dan penuh dengan banyak masalah . Yang menolak semua bangsa campuran agama dan pemerintah "

1 komentar:

  1. boleh saya kutip sebagian, untuk di jadikan referensi? untuk tugas makalah saya

    BalasHapus