A. Pengertian syariat islam
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama
yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan
Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul ( Muhammad Yusuf Musa,1998:131).
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61)
syariat islam secara harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus
yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim,
syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun
suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam
merupakan keseluruhan peraturan atau hokum yang mengatur tata hubungan manusia
dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik
yang diterapkan dalam AL-qur’an maupun hadis dengan tujuan terciptanya
kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.
B. Sejarah penerapan syariat islam di Aceh.
1.
masa kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan
iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan
sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam.
Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka
dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan
hokum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk
mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi
malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki
kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang
memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan
pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap
dan berwibawa.
( http//www.mahkamahsyariahaceh.go.id)
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam
sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah
fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa
iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari
al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang
membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973:
22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku
mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan
sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish
khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan
sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim
dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan
Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada
buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat
termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar
muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti
berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling
eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi
hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga
adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah
di terapkan syariat islam,buktinya adalah:
a. datangnya
ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu
sangat besar.
b. Di bentuknya peradilan
islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada keleluasaan
untuk menjalankan hukum syariah.
c. Pengadilan di buat
sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di
tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi
(qadhi malikul adil).
d. Jika kisah
iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi
pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
1.
Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan
soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan
bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan
kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji
itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril
dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan
melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud
beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai
ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar
untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh
juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua
pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di
wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun
1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang
hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja.
Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia(
DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia
menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh
(majalah Era Muslim “untold history”. ] 30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk
menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan
syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang
dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda,
colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur
syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama
unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan
mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat
pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa
Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan
peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis
permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu
umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai
lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup
keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui
PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh
dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar
DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968
tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan
daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak
dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA
tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang
tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan
Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain.
Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang
no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik
pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk
memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji
keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh,
Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih
melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan
dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat
namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda.
Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang
sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat
tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah
di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
1.
Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk
aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”.
Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap
tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan
melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif
yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan
masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh
adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam
undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran
islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan
melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu.
Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk
melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar,
2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai
beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
1. Alas an agama:
pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim
yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2. Alas an
psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka
jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan
kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
3. Alasan hukum:
masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran
hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat.
4. Alas an ekonomi
dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta
kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi
atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
Lembaga yang terkait penerapan syariat islam.
a. Dinas
syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada
tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat
islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan
syariat islam di NAD.
b. Majelis
permusyawaratan ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen
sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan
ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam
adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan
nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam,
baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c. Wilayatul
hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenag
member tahu dan mengingatkan anggota –anggota masyarakat tentang aturan-aturan
yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut,
serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
Tugas wilayatul hisbah.
Tugas yang harus di jalankan wilayatul hisbah
antara lain:
1. Memperkenalkan dan mensosialisasi qanun dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan syariat islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan aturan akhlak dan moral yang baik.
1. Memperkenalkan dan mensosialisasi qanun dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan syariat islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan aturan akhlak dan moral yang baik.
2. mengawasi masyarakat agar mereka memahami
peraturan yang ada dan berakhlak dengan akhlak yang luhur yang dituntun islam.
3. melakukan pembinaan agar para pelaku perbuatan
pidana tidak melakukan perbuatan maksiat (kejahatan) lanjut.
Wilayatul hisbah diangkat secara khusus oleh gubernur
pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten atau kota oleh bupati atau walikota
sedangkat tingkat gampong di angkat oleh petugas tuha peut (tetua gampong)
setempat. Jika dijabarkan tahapan tugas wilayatul hisbah dan kaitannya dengan
penegak hukum syariah lain adalah:
a. Tahap
sosialisasi akan berhubungan dengan pimpinan gampong.
b. Tahap penyidikan
bertugas sebagai PPNS (petugas penyidik negeri sipil) dan akan berhubungan
dengan polisi.
c. Tahap
penjatuhan hukuman bertugas sebagai petugas pencambuk dan akan berhubungan
dengan kejaksaan.
d. Mahkamah syariah.
Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadialan
agama yang sudah di hapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah
(perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada qanunnya. Pendek kata lembaga ini
adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam.
Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariah dan
tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003
(dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).
Sistem penyusunan hukum syariat islam di NAD
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil
dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran.
Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan
berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat
rancangan oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk
memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD
dengan MPU.
Beberapa qanun yang telah disahkan
(agustus 2005)
Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang
disusun dan disahkan bahkan sudah ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak
dengan hukum ini, diantaranya :
1. Qanun nomor 11
tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat
islam.
2. Qanun nomor 12
tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi
khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk
memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang mem[roduksi khamar
dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit
3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan
paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3. Qanun nomor 13
tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4. Qanun nomor 14
tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5. Qanun nomor 7
tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
Hukuman cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang
berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a. Terhukum
dalam kondisi sehat.
b. Pencambuk adalah
wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c. Cambuk yang
digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d. Jarak pencambuk
dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e. Jarak
pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f.
Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan
medis, atau terhukum melarikan diri.
g. Pencambukan
akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum
menyerahkan diri atau tertangkap.
(al yasa abu bakar, 2006)
Kritik terhadap penerapan syariat islam
Penerapan syariat islam hamper jalan 10 tahun.
Perlahan-lahan hukum positif yang dituangkan dalam KUHP digantikan dengan hukum
Allah yang terangkum dalam Al-Qur’an dan Hadish dan di tuangkan dinas syariat
islam ke dalam qanun. Pro dan kontra dari berbagai pihak terus saja mengalir.
Mereka berusaha mengkritisi, mengevaluasi dan mengajukan ide baru untuk
perbaikan system penerapan syariat islam ke depan.
Menurut Teuku Reiza Yuanda, penerapan syariat islam
lebih berkorelasi dengan aspek politik, yaitu sebagai upaya pemerintah
menyelesaikan konflik Aceh. Syariat islam cenderung di praktekkan dengan
cara-cara kekerasan oleh masyarakat dan pihak pelaksana syariat islam sendiri
tidak berdaya mencegah aksi kekerasan masyarakat tersebut. Hala yang sering
muncul kepermukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, khamar yang direspon
masyarakat melalui sweeping di kafe dan jalan dengan penekana pada busana
wanita. Pelaksanaan syariat telah terjadi pelanggaran terhadap serangkaian
aturan lainnya, apakah korupsi dan manipulasi keuangan Negara dibenarkan dalam
islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggar
syariat islam tanpa proses hukum yang adil dibenarkan dalam islam? Sebagian
besar masyarakat Aceh membenci pelanggar syariat islam padahal justru si
pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajian sebagai
seorang muslim.
Sedangkan H.Taqwaddin mengkritisi hukum rajam bagi
pelaku zina dan di potong tangan untuk mencuri yang sedang hangat diwacanakan
di Aceh sekarang.
1. Negara tidak layak
merajam orang yang berzina jka Negara tidak mampu menangkal media yang
menjurus kepada hal-hal yang berbau porno dan memicu zina. Negara harus
menjalankan fungsinya dengan baik.
2. Fungsi dan peranan
hukum sering disamarkan sehingga seolah-olah masyarakat kalangan bawah tidak
berlaku bagi kalangan atas.
Pemberlakuan syariat islam secara kaffah, yaitu
keikutsertaan pemerintah untuk menegakkan agama islam secara semourna. Segala
bidang baik hukum, kesenian, pendidikan, system pemerintahan akan akan dijalankan
sesuai tata aturan yang dituangkan dalamhukum syariat islam. Membangkitkan
semangat keagamaan dan memberikan ganjaran bagi merekan yang tidak menjadikan
Al-Qur’an dan hadis sebagai tuntutan hidup.
Pada periode ini dibuatlah aturan dalam bentuk qanun
sebagai rujukan hakim untuk mengadili pelanggar syaariah. Pemerintah juga
membentuk polisi khusus (wilayatul hisbah) untuk mengawasi dan
mensosialisasikan jalannya qanun tersebut. Dinas syariat islam dibentuk untuk
mengkoordinir terlaksananya syariat islam menjadi satu kesatuan. Peranan ulama
sebagai penuntun dalam menelaah agama islam juga tidak di abaikan. Maka
di bentuklah MPU ( majelis permusyawaratan ulama ). Sebagai pemberi
masukan, saran dan kritik.
Beberapa kemajuan yang dicapai sejak dari pertama
diberlakukan diantaranya, kedudukan sekolah umum dengan sekolah madrasah
menjadi setara. Kesempatan mengajar pelajaran agama di sekolah oleh guru dayah.
Tgk imum gampong, guru pengajian memperoleh honorarium dari pemerintah.
Pembangunan balai pengajian dan kegiatan penagjian di danai oleh pemerintah.
Pemerintah ingin memperbaiki kesalahan orde lama
dan orde baru saat syariat islam secara kaffah bukan tuntutan masyarakat Aceh
umumnya. Hasil penelitian oleh bustami ( pasca sarjana UGM, 2004 )
memperlihatkan bahwa kalangan ulama dan aktifis mahasiswa memang melakukan
tuntutan agar syariat diberlakukan di Aceh, sedangkan aktivis LSM, cendekiawan,
dan masyarakat kalangan bawah, tidak pernah melakukannya.
Jadi dalam penerapan syariat islam ini ada dua
serangkai kuat dalam masyarakat. ulama sebagai pemimpin dan pengarah hidup
dalam masyarakat. mahasiswa meski sebagai intelektual muda, pemerintahan
setangguh rezim Soeharto bisa ditumbangkan, artinya peranan mahasiswa dalam
masyarakat sangat besar.
Jika dikaitkan dengan pendapat Teuku Reiza yuanda
yang telah diuraikan sebelumnya, penerapan syariat islam lebih berkorelasi
dengan aspek politik. Maka kekuatan ulama dan mahasiswa digunakan
pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat agar berpersepsi syariat
islamlah juru kunci perdamaian di Aceh karena ulama sebagai orang cerdik dan
bijak saja berdiri digaris depan.
Banyak kejanggalan dan kekurangan dari segi
penerapan dari hukum syariat. Syariat islam yang paling mengemuka dari tahun
2001-sekarang adalah khalwat, judi, khamar, jilbab wanita, celana panjang bagi
wanita. Akhir-akhir ini pun sempat di hebohkan dengan wacana pemberlakuan rajam
bagi pelaku zina dan potong tangan bagi pencuri.
Memang minuman keras dapat menjerumuskan seseorang
untuk melakukan perbuatan keji lain seperti pembunuhan, zina dan dosa-dosa
besar lainnya. Judi dapat membawa kesengsaraan karena sifatnya untung-untungan.
Negitu juga dengan pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh wanita yang merupakan
aurat bagi mereka dan khalawat akan mendorong terjadinya pemerkosaan,
perzinaan, pelecehan terhadap kehormatan wanita. Lebih parah lagi zina akan
menghasilkan keturunan yang tidak diridhai oleh Allah, terlunta-luntanya
anak-anak hasil zina,
Namun mengapa sampai sekarang tidak ada seorang pun
pejabat pernah dihukum yang telah ketahuan melakukan KKN terus merajalela.
Untuk Pemkab Aceh Utara sendiri 22 milyar uang rakyat lenyap, namun tidak ada
sorotan dalam bidang syariat islam.
Lading ganja, pembunuhan, perampokan terus saja
merajalela namun tidak pernah ada penanganan yang serius dari pihak berwenang.
Media massa yang tidak islami terus saja bermunculan dan merupakan
pencetak oplah terbanyak di Aceh. Seperti Pro haba, rakyat Aveh, Metro
Aceh. Koran ini menonjolkan berita seks, kriminalitas tanpa menghormati identitas
korban suatu kejahatan. Dalam panduan komunikasi massa umum saja sudah
ditegaskan tidak boleh memuat suatu berita dengan mengabaikan hak-hak orang
yang diberitakan apalagi dalam komunikasi islami.
Hal ini selaras dengan pendapat H.Taqwaddin yang
mengatakan pemerintahan tidak layak merajam orang yang berzina jika Negara
tidak mampu menangkal mediayang menjurus kepada hal-hal yang berbau porno.
Percuma saja pelarangan zina jika hal-hal yang memicu terjadinya zina terus
menerpa umat islam.
Dari segi pakaian mengapa selalu celana panjang
wanita yang menjadi sorotan dan rok menjadi solusinya? Jika rok juga dapat
menonjolkan aurat intinya kan sama saja. Mengapa kaum lelaki yang memakai
celana pendek tidak pernah dipermasalahkan? Padahal dia dalam islam jelas diatur
aurat wanita adalah seluruh tubuh dan laki-laki dari pusar hingga lutut.
Mengapa pula dalam VCD karya seni anak Aceh modelnya tidak memakai pakaian yang
islami dan ceritanya disajikan tidak islami. Mengapa hal itu tidak mendapat
perhatian dari dinas syariat islam atau pihak-pihak terkait lainnya. Ada apa
dibalik semua itu???
Mungkin yang perlu dilakukan agar islam kembali
jaya di Aceh sepeti pada masa Rasulullah adalah mencoba bangkit dari hal-hal
kecil tapi efeknya sangat besar. Seperti disiplin waktu, menjaga kebersihan,
ketertiban di jalan raya, penghormatan terhadap milik dan karya intelektual
orang lain, kesopanan, rasa cinta kepada Allah dan Rasul.
Sosialisasi syariat islam perlu dilakukan dengan
cara modern. Di bidang pakaian harus digiatkan seni merancang busana yang
islami karena ada kecenderungan masyarakat kita berbusana sesuai trend. Maka
kita harus menciptakan trend yang islami.
Dapat juga dilakukan melalui pemanfaatan media
milik pemerintah seperti TVRI dan RRI. Produktivitas TVRI yang kurang
berkembang perlu disokong dengan acara-acara yang berbasiskan islam. Media
cetak islami perlu digiatkan perkembangannya. Jadi intinya adalah kita jangan
hanya pandai melarang tanpa memberikan solusi, tapi solusi yang tepat akan
meminimalisir hal-hal yang menguras keimanan kepada Allah SWT.
Kesimpulan
Syariat islam merupakan peraturan yang telah
ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan hadish bagi umat islam tidak hanya segi
ibadah namun juga bidang sosial, ekonomi, budaya agar tercipta kehidupan
teratur, aman sentosa dunia dan akhirat.
Syariat islam sudah di terapkan sejak Aceh masih
dalam bentuk kerajaan. Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa
harus meminta persetujuan dari penguasa. Pengadialn di bentuk di tingkat daerah
dan di teruskan ke pusat jika terdakwa mengajukan banding. Beberapa hukum yang
di laksanakan di antaranya rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar
diyat oleh pelaku pembunuhan sengaja.
Masa orde lama dan orde baru tidak ada pelaksanaan
syariat resmi dari pemerintah. Syariat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di
tingkat gampong. Pemerintah memahami betul sikap orang Aceh yang menjunjung
tinggi syariat islam sehingga digunakan sebagai senjata politik untuk menarik
simpati rakyat dan berhasil.
Setelah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun
2001, pemerintah mencanangkan syariat islam secara kaffah khusus wilayah Aceh.
Syariat islam secara kaffah di artikan pelaksanaan hukum syariah secara
sempurna oleh pemrintah daerah. Beberapa lembaga yang di bentuk untuk menjalankannya
yaitu, dinas syariat islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan
hukum syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen
yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat,
dan polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap
pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.
PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAH DI ACEH (Kajian Yuridis Terhadap Pro kontra Antara Eksekutif dan Legeslatif)
PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAH DI
ACEH (Kajian Yuridis Terhadap Pro kontra Antara Eksekutif dan Legeslatif) 1.1.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Aceh dalam sepanjang sejarah
dikenal sebagai masyarakat yang sangat dekat dan bahkan sangat fanatik terhadap
Islam, sehingga masyarakat Aceh dalam kehidupannya selalu berbaur dengan ajaran
Islam, sulit bagi kita memisahkan antara adat istiadat dengan ajaran Islam
dikalangan orang Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan dalam pepatah
Aceh, “hukum ngon adat lage zat ngon sifeut ( hubungan syari’at dengan adat
adalah ibarat hubungan suatu zat (benda) degan sifatnya, yaitu melekat dan
tidak dapat dipisahkan)”. Dalam pemahaman masyarakat Aceh, Syari’at Islam bukan
hanya dalam aspek hukum dan peradilan saja, akan tetapi mencakup semua aspek
kehidupan seperti Pendidikan, Ekonomi dan juga Sosial Kemasyarakatan. Pada awal
kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Aceh telah mengajukan permohonan dan
bahkan menuntut kepada pemerintah pusat agar diberikan izin pemberlakuan
Syari’at Islam. Tuntutan ini akhirnya mendapat persetujuan juga dari pemerintah
pusat dengan mengesahkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah istimewa Aceh. Kemudian pada tahun
2001 pemerintah pusat kembali mengesahkan Undang-undang No. 18 tahun 2001
Tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebgai Provinsi
Nanggro Aceh Darussalam. Dalam hal ini Aceh diberikan Peradilan Syari’at Islam
yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syar’iyah, yang kewenangannya telah diatur
dengan Qanun. Pada Oktober 2002, Qanun yang mengatur kewenangan Mahkamah
Syar’iyah tersebut dan pada Maret 2003 Mahkamah Syar’iyah di Aceh diresmikan
oleh Menteri Kehakiman dan ketuanya dilantik oleh Mahkamah Agung. Setelah ini,
pada tingkat Nasional disahkan pula Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 15 menyatakan bahwa peradilan Syari’at
Islam di Aceh adalah peradilan khusus dalam lingkungan peradilan Agama dan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Melalui pembentukan Daerah
Otonomi Khusus yang diatur oleh Undang-undang, Aceh sebagai Negara kesatuan
Republik Indonesia dapat menerapkan syari’at Islam diwilayah hukumnya. 1.2.
PEMBAHASAN A. Pengertian Qanun Jinayah Qanun jinayah terdiri dari dua kata,
yaitu qanun dan jinayah, kata qanun berasal dari bahasa Arab yaitu qanna, yang
bermakna membuat hukum dan kemudian qanun dapat diartikan sebagai hukum,
peraturan atau Undang-undang. Sedangkan menurut kamus bahasa Arab-Indonesia,
kata (qanun) berasal dari kata (qanna) yang berarti kaidah, Undang-undang atau
aturan. Adapun jinayah secara etimologis berarti perbuatan terlarang. Menurut
Ahmad wardi jinayah secara bahasa adalah: اسم لما يجنه المرء من شر وما اكتسبه “Nama bagi perbuatan seseorang yang buruk dan apa
yang diusahakan”. Sedangkan pengertian jinayah menurut istilah fuqaha,
sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah: فالجناية اسم لفعل محرم شرعا، سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غير ذالك “Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang
dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainnya”.
Menurut Sayid Sabiq pengertian jinayah adalah: “yang dimaksud jinayah dalam
istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang dan perbuatan dilarang itu
adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena
adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda. Menurut
Amir Syarifddin pengertian Jinayah atau lengkapnya adalah fiqh jinayah
merupakan satu bagian dari pembahasan fiqh. Kalau fiqh adalah ketentuan yang
bersifat wahyu Allah dan amaliyah yang mengatur kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah adalah secara
khusus mengatur tentang pencegahan tidak kejahatan yang dilakukan oleh manusia
dan sanksi hukuman yang dikenakan dengan kejahatan itu adalah mendatangkan
kemaslahahtan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan mamfaat bagi
manusia, maupun menghindari kerusakan dan kemudharatan dari manusia. Segala
bentuk tindakan perusakan terhadap orang lain atau mahluk lain dilarang oleh
agama dan tindakan tersebut dinamakan tindak kejahatan atau jinayah. Semua
bentuk tindakan yang dilarang oleh Allah dan diancam pelakunya dengan hukuman
tertentu itu secara khusus disebut jinayah. Menurut Sudarsono istilah fiqh
jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah
atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang
melakukan wajib mendapat hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam rumusan lain disebutkan bahwa jinayah itu perbuatan dosa besar atau
kejahatan (kriminal/pidana) seperti membunuh, melukai seseorang, berzina dan
menuduh orang baik berzina. B. Proses Pembentukan Qanun Pembentukan norma hukum
yang bersifat umum dan abstrak berupa peraturan yang bersifat tertulis, pada
umumnya didasarkan pada dua hal, pertama, pembentukannya diperintahkan oleh
Undang-undang, kedua, pembentukannya dianggap perlu kerena kebutuhan hukum.
Ketentuan mengenai prosudur pembentukan Undang-undang telah dituangkan dalam
Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan.
Undang-undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum
nasional yang hanya dapat diwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang
pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat
peraturan perundang-undangan. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan
kelanjaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka pada tingkat
pusat pemerintah telah mengesahkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang
pembentukan perundang-undangan, demi kian juga pada tingkat daerah, seperti
halnya di Aceh telah disahkan qanun No. 3 tahun 2007 tentang tata cara
pembentukan qanun. C. Lembaga Pembentuk Qanun Pemahaman tentang siapa sebenarnya
lembaga pembentuk Undang-undang di Indonesia masih seringkali menimbulkan
perdebatan. Sebelum Undang-undang Dasar 1945 diamandemen jelas disebutkan bahwa
yang memegang kekuasaan membentuk Undang-undang adalah presiden. Hal ini
disebutkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal 5 ayat(1) yaitu “ presiden
memengang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan
rakyat”. Setelah Undang-undang Dasar diamandemen tugas pembentukan
Undang-undang dilimpahkan pada DPR, sebagaimana tertuang dalam pasal 20 (1)
yaitu “ DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Dari penjelasan diatas
dapat dipahami bahwa DPR adalah lembaga legeslatif, yaitu pembentuk
Undang-undang. Sebagian dari kita sering salah mempersepsikan atas hak yang
diberikan oleh Undang-undang kepada presiden untuk mengajukan rancangan
Undang-undang sebagaimana yang tertuang dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945,
menunjukkan kebenaran bahwa presiden adalah lembaga legeslatif dengan arti
mempunyai fungsi yang sama dengan DPR. Pada hal keterlibatan presiden dalam
pembentukan Undang-undang ialah berfungsi dalam memberikan persetujuan terhadap
ranacangan Undang-undang, bukan sebagai pembentuknya. Banyak dari kita salah
dalam menafsirkan terhadap pasal 20 (2) UUD 1945 yang menyatakan “ rancangan
Undang-undang dibahas oleh DPR dan persiden untuk mendapat persetujuan bersama”
diartikan presiden mempunyai kewenangan membentuk Undang-undang, pada hal dalam
proses pembahasan bersama-sama ini hanya untuk mendapat persetujuan bersama
terhadap rancangan Undang-undang, karna kedua lembaga ini mempunyai fungsi
masing-masing yang berbeda, tentu saja fungsi presiden dalam hal ini hanya
memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-undang yang diajukan
kepadanya, akan tetapi tidak boleh juga ditafsirkan bahwa presiden hanya
memberikan persetujuan semata, melainkan mempunyai hak menyempurnakan dan
bahkan berhak tidak menyetujuinya. Dari tulisan diatas dapat pula dikembangkan
dalam proses pembentukan Perda atau Qanun di Aceh juga sama halnya dengan
pembentukan Undang-undang. Pembentukan Qanun di Aceh juga merupakan wewenang
DPRA sebagai lembaga legeslatif dan Gebenur sebagai lembaga eksekutif untuk
mendapat persetujuan bersama. Dalam pembentukan qanun keterlibatan masyarakat
juga sangat diperlukan, dengan memberikan kesempatan mengeluarkan pendapat,
ditambah lagi keterlibatan Majelis Permsyawaratan Ulama untuk qanun yang
berkenaan dengan syariat Islam. 1.3. PRO KONTRA ANTARA EKSEKUTIF DAN LEGESLATIF
Pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis, kembali
dipertegas dengan disahkannya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang menegaskan bahwa Aceh diberikan kewenangan menjalankan
Syari’at Islam secara kaffah yang diatur dalam Qanun. Upaya legislasi dalam
pelaksanaan Syari’at Islam ini meliputi bidang Ibadah, Aqidah, syi’ar Islam,
bidang Mu’amalah dan Jinayah. Dalam bidang Jinayah, ada beberapa Qanun yang
telah diberlakukan di Aceh, seperti Qanun No. 12 tahun 2003 Tentang Minuman
Khamar dan Sejenisnya. Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian) serta
Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (meusum). Ketiga Qanun tersebut belum
memenuhi kriteria Syari’at, banyak ketentuan lain yang terdapat dalam Al-qur’an
belum diatur dalam Qanun seperti halnya kasus rajam bagi penzina Muhsan dan
jilid 100 kali bagi penzina Ghairul Muhsan. Atas dasar inilah DPRA periode
2004-2009 yang lalu mencoba membuat terobosan untuk membuat Qanun Jinayah Hudud
dan Qanun hukum Acara Jinayah agar dapat menjalankan hukuman rajam tersebut.
Dari kegigihan tersebut akhirnya rancangan Qanun tersebut dapat disahkan
menjadi hukum positif pada tanggal 15 September 2009 yang lalu, Walaupun
akhirnya menimbulkan pro-kontra terutama mengenai jenis hukuman rajam bagi
pelaku zina muhsan dan jilid 100 kali bagi pelaku zina Ghairul Muhsan. Hukum
ini dianggap bertentangan dengan HAM dan Nilai-nilai kemanusiaan serta
bertentangan dengan UUD 1945, demikian pernyataan ini dilontarkan oleh kalangan
yang menolak pemberlakuan Qanun ini, ditambah lagi Gubernur selaku Kepala
Pemerintahan di Aceh tidak mau menanda tangani akan Qanun tersebut. Namun dalam
hal ini juga ada kalangan yang mendukung pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun
Jinayah, mereka ini berargumen bahwa Qanun Jinayah ini tidaklah bertentangan
dengan HAM dikarenakan materi hukumnya sudah jelas sebagaima diamanatkan dalam
Undang-undang No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang
menyatakan bahwa Aceh diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana
Islam (hukum Jinayah). Selain itu hukum Jinayah bagi umat Islam merupakan
keharusan yang harus dijalankan karena tuntutan dalam ajaran Islam tak ada
perdebatan dalam tubuh umat Islam tentang hal ini, tetapi persoalannya akan
muncul ketika ada gagasan untuk menegakkan Syari’at Islam di Indonesia. Syari’at
Islam manakah yang akan ditegakkan, bagaimana formatnya, cara dan metodologi
memperjuangkannya? Lebih dari itu, penegakan Syari’at Islam di Indonesia adalah
sebuah dilema dan ironi sekaligus. Dilema, karena banyak orang yang mengaku
muslim, justru merasa takut dan cemas ketika Syari’at Islam di tegakkan.
Sedangkan ironi, sebagaimana yang tersebar dalam berbagai wacana tentang
penegakan Syari’at Islam, banyak pemimpin Islam papan atas, dengan berbagai
argumen dan tentunya potensi egonya, justru menolaknya tampa ada landasan
yuridis yang kuat. Menjalankan Syari’at Islam merupakan Hak Fundamental dalam
kebebasan beragama (freedom of religion), sebagaimana diakui dalam konvensi
Internasional, sehingga hukum tersebut dianggap tidak bertentangan dengan HAM. Alasan
demi alasan terus dilontarkan oleh semua kalangan yang pro dan yang kontra
sehingga pemberlakuan Qanun Jinayah ini tidak dapat dijalankan, pada hal DPRA
telah mengesahkan rancangan Qanun tersebut menjadi Qanun. Secara hukum
rancangan Qanun tersebut sudah sah dan wajib diundangkan dalam lembaran Daerah,
hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Perundang-undangan pasal 38 (2) . dan juga dalam Qanun No. 3 tahun
2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun pasal 37 (2) yang menyatakan bahwa
“dalam hal rancangan Qanun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditanda
tangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30 hari sejak
rancangan Qanun disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah menjadi
Qanun dan wajib diundangkan. Bila kita melihat sistem pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia jelas mengatakan bahwa Undang-undang yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Berbicara tentang Syari’at Islam dalam kontek UUD 1945, maka dari sejak
awal sudah terdapat permulaan yang baik, seperti terlihat dalam Piagam Jakarta
yang mendahului pembukaan UUD 1945. Sekalipun terdapat kontroversi dalam
pencoretan terhadap tujuh kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut,
akan tetapi oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta diakui menjiwai
UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Konstitusi yang
ada di Indonesia. 1.4. KESIMPULAN 1. Qanun jinayah adalah aturan perundang-undangan
yang mengatur segala bentuk tindakan kejahatan (kriminal/pidana) terhadap orang
lain, yang ditetapkan oleh syara’ dan sangat dilarang untuk melakukannya. 2.
Qanun Jinayah yang telah disahkan oleh DPRA pada 15 September 2009 yang lalu,
akan tetapi tidak dapat diterapkan, ini tentunya menjadi tanda Tanya bagi kita
semua, kenapa bisa seperti ini? Ada apa sebenarnya? Dan apa yang menjadi alasan
hukum sehingga Qanun tersebut tidak dapat diberlakukan. Sedang alasan untuk
sementara pihak yang menolok (Eksekutif) bahwasanya mereka mengatakan
bertentangan dengan HAM dan juga pertetangan dengan undang-undang yang lebih
tertinggi (maksudnya undang-undang NRI tidak ada yang namanya hukuman bagi
belaku pembunuhan potong tangan atau penzina itu dirajam. Akan tetapi pihak pro
(Legeslatif) yang menerapkan pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun Jinayah,
mereka ini berargumen bahwa Qanun Jinayah ini tidaklah bertentangan dengan HAM
dikarenakan materi hukumnya sudah jelas sebagaima diamanatkan dalam Undang-undang
No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang menyatakan bahwa
Aceh diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam (hukum
Jinayah). hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 38 (2) . dan juga dalam Qanun No.
3 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun pasal 37 (2) yang menyatakan
bahwa “dalam hal rancangan Qanun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
ditanda tangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30
hari sejak rancangan Qanun disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah
menjadi Qanun dan wajib diundangkan.
http://qanunjinayahdiaceh.blogspot.com/2011/04/pemberlakuan-qanun-jinayah-di-aceh.html
Setiap
aspek kehidupan dalam Syariat Islam pelaksanaannya tidak hanya sebatas
memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan
tujuantujuan tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat (sebab) yang
dapat dipahami atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud
dan latar belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbudi dan
yang hikmahnya tidak masuk akal (ma’qul) yaitu ada rincian rahasia di balik
pensyari’ataanya itu (Yusuf Qardhawi 1991).
Allah SWT. menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya :
“Wahai segenap manusia, telah datang kepadamu ma’izhah (pengajaran) dari
RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57). Namun barang siapa tidak
mentaati seluruh ajaran Allah dan mengabaikannya tidak akan berpengaruh
kepada kekuasaan Allah di langit dan dibumi, dan segala maksiat dan kekufuran
mereka tidak akan mencelakakan Allah tapi justru segala itu akan kembali si
pelakunya. Oleh sebab itu tujuan pelaksanaan Syariat Islam terutama sekali
untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Meskipun
Syariat Islam telah berlangsung lebih 10 (sepuluh) tahun, secara fenomenalogy
prilaku remaja selama ini tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan
indikasi yang mengkhawatirkan dan peningkatan persentase penyimpangan, baik
ketika mereka berada di lembaga, bahkan lebih parah ketika mereka berada di
luar, seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari
narkoba sampai free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), sudah dapat
dikatagorikan sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku
menyimpang yang mengandung resiko tinggi.
Hal ini terjadi karena nilai-nilai Islam yang diberlakukan di Aceh belum bisa
masuk menjadi nilai-nilai struktural formal, dalam berbagai
kehidupan masyarakat termasuk program pendidikan, sehingga
prilaku-prilaku tersebut dengan mudah berkembang. seperti beberapa kasus
remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai free sex
(Abubakar dan Anwar Thn. 2007), marak terjadi sudah dapat dikatagorikan
sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang
mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9).
Demikian
juga halnya dengan Laporan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2009, Di Banda Aceh sejak tahun 2006 terdapat 132 kasus (42
kasus berat, 90 kasus ringan), tahun 2007 terdapat 149 kasus (47 kasus berat,
102 kasus ringan), tahun 2008 terdapat 103 kasus (22 kasus berat, 77 kasus
ringan), tahun 2009 terdapat 91 kasus (21 kasus berat, 70 kasus ringan)
dan sampai dengan Februari 2010 terdapat 6 kasus khalwat berat.
Dari keseluruhan jumlah kasus yang ditemukan, sebagian besar pelakunya adalah
remaja, hal ini cukup sejalan dengan studi/survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan the United Nations Children’s Fund
(Unicef), tercatat bahwa dari jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang
beroperasi di Aceh, 10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau
berstatus mahasiswi.
Dari berbagai prilaku menyimpang dan khalwat yang terjadi selama ini 90%
terjadi pada remaja (Dinas Syariat Islam 2009). 70% lebih berada pada
kelompok remaja, yang berumur 15 tahun ke atas, ini berarti pada umumnya,
usia ini mereka sedang duduk di Sekolah Menengah Atas (SMU) dan perguruan
tinggi, di bawah dan di atas usia peruguruan tinggi kejahatannya menurun.
Menurut Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi
antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan
muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Bentuk larangan terhadap khalwat
adalah segala bentuk kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada
perbuatan zina, sehingga qanun ini kemudian ditetapkan dengan tujuan
menegakkan Syariat Islam dan adat, melindungi masyarakat dari
berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan, mencegah
anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina, meningkatkan
peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan
khalwat/mesum, serta dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
hal 4 Krisis moral yang dialami Eropa
sejak reformasi, dan
pemisahan konsekuen antara
sekuler dan kekuasaan agama, hanya bisa diselesaikan
dengan agama baru: agama itu sciene "
suatu kesatuan sistem kepercayaan dan praktek
yang berhubungan dengan hal-hal kudus.
Hal 8. PERTAMA, awal sistem
hukum Islam memiliki dua andalan
yang tidak seperti orang-orang dari setiap sistem hukum kontemporer. Pertama, sistem Islam adalah sifatnya
bukan tatanan hukum sekuler tapi salah satu emanasi ilahi dan suci.
Ini merupakan aplikasi
spesifik iman Islam untuk hubungan manusia: islam tidak hanya agama tetapi
juga seperangkat aturan yang
mengatur perilaku faikhul dan mengatur hubungan mereka dalam masyarakat.
Kedua, The tatanan hukum Islam tidak dipecah menjadi cabang terpisah hukum seperti sistem hukum yang paling kontemporer, yang meliputi hukum publik dan swasta. ... Dalam Islam, oleh karena itu, hanya ada satu Tuhan dan satu hukum. Hukum ini ditujukan kepada semua tanpa distintion atau diskriminasi.
Kedua, The tatanan hukum Islam tidak dipecah menjadi cabang terpisah hukum seperti sistem hukum yang paling kontemporer, yang meliputi hukum publik dan swasta. ... Dalam Islam, oleh karena itu, hanya ada satu Tuhan dan satu hukum. Hukum ini ditujukan kepada semua tanpa distintion atau diskriminasi.
Hal 9. " The Arab syari'at kata mengacu pada hukum dan cara
hidup yang ditentukan oleh Allah ( SWT ) untuk hamba-Nya . Syari'at berkaitan
dengan ideologi dan keyakinan , perilaku dan tata krama , dan hal-hal
sehari-hari yang praktis . " Untuk masing-masing di antara kamu , kami
telah diresepkan hukum dan cara yang jelas . (QS. 5:48) Syariah meliputi
theQur'an dan sunnah nabi ( saw ) . Al Qur'an adalah firman langsung dari Allah
(SWT ) , dan merupakan yang pertama sumber yang paling penting dari bimbingan
dan keputusan . Sunnah Nabi ( saw ) adalah sumber kedua bimbingan dan keputusan
. Sunnah adalah inspirasi dari Allah ( Swt ) , tetapi disampaikan kepada kita
melalui kata-kata dan tindakan Nabi ( saw ) , dan persetujuan dengan tindakan
orang lain . Sunnah menegaskan putusan Al-Qur'an , rinci beberapa konsep ,
hukum dan hal-hal praktis yang secara singkat dinyatakan dalam Al Quran (
misalnya definisi Islam , Imn , dan Ihsan , rincian jenis salat riba ) , dan
memberikan beberapa hal rulingsregarding tidak secara eksplisit dinyatakan
dalam Al Quran ( misalnya mengenakan pakaian sutra untuk pria ) .
(The fiqh bahasa Arab berarti
pengetahuan, pemahaman dan
komprehensif Hal ini mengacu pada keputusan hukum dari para
ulama Muslim, berdasarkan pengetahuan mereka tentang syari'at,. Dan dengan demikian merupakan sumber ketiga putusan.)
Hal 10. Kasus yang berbasis pada
kebulatan cendekiawan Muslim dan analogi langsung mengikat.
Keempat sekolah Sunni
pemikiran, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hambali, adalah identik dalam sekitar 75% dari kesimpulan
hukum mereka. Varians di sisa dapat ditelusuri ke perbedaan metodologi dalam memahami atau otentikasi bukti
tekstual utama. Sudut
pandang yang berbeda kadang-kadang ada bahkan di satu sekolah pemikiran.
Hal 11. Al-Quran adalah perkataan
Tuhan, Tuhan Dunia ", seperti yang diwahyukan
kepada utusan-Nya yang dipilih
untuk komunikasi bagi semua orang.
Hal itu terungkap dalam fragmen lebih dari 23 tahun (610-632),
masing-masing wahyu yang dibuat kapan dan di mana diperlukan, biasanya untuk memecahkan masalah specivic. Al-Quran diberikan sebagai
panduan untuk manusia, dalam
totalitas, kehidupan spiritual, individual,
dan kolektif sementara, dan untuk
semua kelas waktu throughtout individu dan masyarakat dan ruang.
murni, sederhana tauhid-kepercayaan keesaan Tuhan, meskipun
juga berkaitan dengan semua aspek kehidupan
Lima prinsip dasar yang merupakan
dasar dari sistem hukum Islam
sebagai awhole, yaitu:
Keadilan, kesetaraan, konsultasi demokrasi, menghormati
komitmen, dan timbal balik.
Hal 15. Sunnah atau tradisi Nabi,
adalah sumber kedua dari tatanan hukum Islam. Perilaku
Rasulullah dan perilaku
dalam kehidupan misinya, kata-katanya, perbuatan dan reaksi terhadap perbuatan orang lain itu, merupakan
sumber aturan yang
memiliki kekuatan hukum di bawah sistem
Islamc. Aturan yang saling melengkapi dengan yang Quran dalam bahwa mereka hanya menegaskan kembali atau interpretthem atau menentukan bagaimana mereka harus diterapkan.
Hal 21-22. Bagian yang paling sulit dari Hukum Islam bagi kebanyakan
orang Barat untuk graps adalah tha tidak ada pemisahan churs dan negara . Agama
Islam dan pemerintah adalah satu. Hukum Islam dikendalikan , dikuasai , diatur
oleh agama Islam . Teokrasi mengontrol semua urusan publik dan swasta . Pemerintah
, hukum , dan agama adalah satu. Ada berbagai tingkat konsep ini di banyak
negara , tapi otoritas semua hukum, pemerintah dan sipil bersandar pada itu dan
itu merupakan bagian dari agama Islam. Ada hukum perdata di negara-negara
Muslim untuk orang-orang Muslim dan non-Muslim . Syariah hanya berlaku untuk
Muslim. Kebanyakan orang Amerika dan lain-lain dididik dalam hukum umum
memiliki kesulitan besar dengan dari konsep . Konstitusi Amerika Serikat ( Bill
of Right) melarang pemerintah dari " membangun sebuah agama . "
Mahkamah Agung AS telah menyimpulkan dalam banyak kasus bahwa Pemerintah AS
tidak dapat mendukung satu agama atas yang lain . Konsep yang tersirat bagi
sebagian besar sarjana hukum AS dan banyak akademisi AS percaya bahwa setiap campuran
" gereja dan negara " adalah kejahatan yang melekat dan penuh dengan
banyak masalah . Yang menolak semua bangsa campuran agama dan pemerintah "
boleh saya kutip sebagian, untuk di jadikan referensi? untuk tugas makalah saya
BalasHapus